Upiak Angguak-angguak: Gadis Minang Yang Malang



Kahlil Gibran pernah menulis “kenangan adalah anugrah Tuhan yang tak dapat dihancurkan oleh maut”. Malam ini, tiba tiba saya terkenang kepada seorang wanita. Ingatan saya melayang ke kampung, nun jauh ke masa silam, tigapuluh sekian tahun lalu. Waktu itu saya berusia menjelang dua belas tahun, sedang wanita itu mungkin tujuh tahun lebih tua dari saya.

Konon ia lahir sekitar tahun 1955 dan tinggal di Desa Balun, Muaralabuh, seratus dua puluh kilometer dari Padang. Sekali dalam seminggu, ia pergi berjalan kaki melewati desa desa Muara Labuh sampai ke Pakan Salasa, sesekali bahkan sampai ke Lubuak Gadang, menjalankan pekerjaannya; meminta sedekah dari orang kampung. Perjalanan panjang sejauh 40 Km itu ditempuhnya seharian penuh. Begitu rutinnya ia datang sehingga namanya terkenal seluruh kampung. Orang kampung memanggilnya ” Upiak angguak angguak”.

Di kampung waktu itu `bersedekah’ diyakini sebagai perbuatan mulia dan dibalas Allah berlipat ganda. Karenanya Upiak tak terlalu sulit mendapatkan `sedekah’ orang lain, meski hidup mereka juga pahit.
Kala itu menjadi peminta, atau pengemis istilah kini, dipandang sebagai pekerjaan hina. Jangankan jadi penerima `sedekah’, beberapa desa bahkan melarang warganya bekerja yang sifatnya melayani orang lain seperti pekerjaan pembantu sekarang, karena dianggap merendahkan derajat kampung. Upiak, merupakan pengecualian waktu itu.

Sebagai gadis yang masih belasan tahun, wajah Upiak memang tidak cantik, raut mukanya agak seram, terkesan pemarah, badan tak terurus, rambut panjang sampai ke pinggang, tapi yang menakutkan anak anak ialah kepalanya yang terus menggangguk-angguk. Itulah sebabnya orang menyebutnya upiak angguak angguak. Tak ada waktu yang terlewatkan tanpa anggukan kepalanya, lagi mandi, lagi makan, lagi bicara bahkan saat sedang sholatpun ia mengangguk. Konon, ia hanya
berhenti mengangguk kalau tidur. Tidurpun tak bisa lama, begitu bangun kepalanya otomatis mengangguk. Sampai saat ini saya tak tahu apa nama penyakit Upiak, dan belum pernah bertemu orang yang punya penyakit sepertinya.

Dari raut mukanya saya tahu Upiak tersiksa dengan nasibnya. Konon, ia hidup sebatang-kara, kedua orang-tuanya sudah meninggal, tak punya keluarga. Ada keluarga jauh tapi tak mau mengakuinya karena malu atas penyakitnya. Ada yang bilang Upiak sudah begitu sejak kecil, tapi sebagian lagi berkata karena kutukan sebab ia durhaka menyakiti ibunya. Saya tak percaya Upiak durhaka dan dikutuk Tuhan. Hati kecil saya mengatakan Upiak orang baik. Tuhan tidak kejam, Tuhan maha pengasih dan penyayang. Saya yakin itu cuma penyakit.

Jika melewati desa desa sepanjang Muara Labuh, Upiak sudah faham betul mana rumah yang ia singgahi, mana rumah yang ia abaikan. Dari Balun, Pakan Rabaa, sungai Aro, Lundang, laweh, Rawang saya tahu betul penduduk yang berbaik hati pada si upiak dan mana yang menutup pintu bila Upiak datang. Beberapa ibu ibu di Batang Laweh bersikap ramah setiap kali Upiak lewat, mempersilahkannya masuk, memberinya minum dan bahkan ada yang memberi makan disamping sedekah.

Biasanya ia singgah tak lama, paling lima menit lalu pergi ke rumah yang lain. Yang pasti setiap kali Upiak datang ia menjadi tontonan anak anak dari jauh, dan setiap kali pula selalu bersikap menghina. Betapapun Upiak mencoba bersikap ramah anak anak tetap menjauh.

Setiap kali ia datang anak anak se-usia saya berlari ketakutan menjauh darinya, tak ada yang berani mendekat. Dari jauh mereka meneriaki Upiak dengan kata menyakitkan ` upiak padusi gilo lewe, Upiak angguak angguak datang” kata mereka bersorak seperti mendapat hiburan, dan berkerumun mengikutinya.

Meski demikian Upiak mencoba bersikap baik kepada kami. Bahasa tubuhnya menampakkan sikap bersahabat dan ramah, tapi anak anak sudah kepalang takut melihat wajahnya. Seiring berjalannya waktu toh Upiak terbiasa dengan sikap yang menyakitkan itu, dan menerimanya sebagai perjalanan hidup yang harus dilaluinya.

Berbeda dengan anak anak lain, saya tidak takut pada Upiak. Saya tak pernah mengejeknya, dan bahkan selalu bersikap hormat dan bersahabat padanya. Saya sering memarahi teman yang mengejeknya. Setiap berpandangan saya selalu tersenyum ramah. Dibalik wajahnya yang menakutkan, saya tahu Upiak orang baik, dan dia ingin diperlakukan sama seperti yang lain. Lama lama Upiak nampaknya tahu saya berbeda dengan anak yang lain. Ia tahu bahwa saya bersahabat kepadanya dan tak suka ia diperlakukan seperti itu.

Suatu saat, musim semi tahun 1974, saat Jakarta baru saja dilanda huru-hara Malari, saya kepergok dalam jarak tak sampai dua meter dari si Upiak di desa Batang-laweh, waktu itu ia baru keluar rumah seseorang penduduk. Awalnya saya terkejut, sedikit gugup tapi berusaha bersikap tenang dan tidak lari seperti anak anak lainnya. Saya tidak menampakkan wajah yang takut, karena saya memang tidak
takut padanya. Meski pun demikian saya gugup juga ketika ia mendekat dan menatap saya dengan tajam. ” Dari mano diak”, katanya menyapa ramah. ” Pulang menjual ikan “, kata saya agak gugup sambil memperlihatkan ember yang sudah kosong. Kadang kadang kalau lagi butuh uang saya mengambil ikan di kolam dan menjualnya keliling kampung sambil berteriak “Lawuuaak…ikaan..ikaaan”.

Saya berteriak sambil menaruh ember yang diisi ikan di kapala saya. “Syukurlah,lakuu ya….”, kata Upiak, sambil kepalanya mengangguk. Ia makin dekat dan saya mencium bau tak sedap. “singgahlah”, kata saya sambil > menenangkan hati. Upiak ketawa terbahak bahak, saya lihat kegembiraan diwajahnya. Saya tak pernah melihatnya tertawa seperti itu. Mungkin ia tahu saya cuma basa basi, sebab di rumah hanya ada saya dan ibu dan kalau siang ibu saya pergi ke sawah. “Tidak, terima asih, ambo pergi ya..” katanya.

Tiba-tiba tangannya memegang tangan saya mendadak, memberikan sesuatu dan pergi. Ketika saya buka, saya terkejut.. uang. Dengan agak gugup saya berkata” Uni, ini pitinya saya kembalikan, sebenarnya saya ingin memberi uni piti hasil jualan ikan tadi” kata saya kepadanya. Upiak berbalik menatap saya dan berkata ” Terimalah, selama hidup saya hanya menerima dari orang, saya lebih senang memberi tapi.. “, Upiak tak melanjutkan katanya, matanya menerawang ke langit. Ia nampak terharu. “Saya senang, baru pertama kali seumur hidup saya dipanggil Uni, bukan Upiak gilo”, katanya sambil berlalu. Saya sempat menatap mukanya, ada nada sendu dimatanya. Kejadian itu berlalu begitu cepat, saya terpana dan tersadar oleh panggilan teman teman yang metertawakan saya. Saya acuh saja. Mereka mengira pasti saya ketakutan.

Malamnya saya tak dapat tidur memikirkan makna kejadian bersejarah sore itu. Bersejarah karena sayalah orang pertama usia sebaya yang mau berbicara dalam jarak dekat dengan Upiak. Perasaan saya berkecamuk, campur-aduk. Betulkah ia merasa dihargai?. Betulkah ia senang dipanggil Uni dan bukan si Upiak gilo seperti yang dialaminya tiap hari? Kata Upiak “memberi lebih mulia dari menerima”, terngiang-ngiang di telinga saya. Upiak tak kuasa melawan takdir, ia ingin diperlakukan sama sebagai manusia terhormat, bukan dihina dan dicerca. Saya tak tahu apa dosanya hingga ia diperlalukan seperti itu.

Saya tahu ia kesepian dan hidup baginya terasa kejam. Wajah Upiak yang sendu saat menatap saya tak dapat saya lupakan. Dibalik wajahnya yang buruk, saya melihat ada `kecantikan’ didalamnya. Kecantikan yang tak terlihat dan hanya bisa dirasakan melalui penghayatan. Melalui perasaan, melalui hati.

Tak lama kemudian saya pergi merantau ke Jakarta. Tentu saja saya tak dapat lagi bertemu Upiak. Saya tenggelam oleh rutininas kehidupan. Empat tahun kemudian ketika pulang kampung pertama kali, takdir mempertemukan saya kembali dengannya di tempat yang sama, di loniang depan masjid Batang-laweh, tempat dulu kami bicara pertama kali. Waktu itu sore hari, saya usai shalat di masdjid Laweh. Dari jauh saya lihat Upiak berjalan sambil kepalanya mengangguk-ngangguk seperti biasanya. Dan anak anak..huh.., dunia tak juga berubah, berkerumun mengikutinya sambil menghina.

Wajahnya sudah berubah,sudah nampak tua, rambutnya sudah agak tipis, nampak lelah, kurang bersemangat, dan dari raut mukanya..saya tahu ia sangat menderita.Upiak sudah kehilangan semangat hidup. Tapi saya senang sekali melihatnya. Begitu melihat saya mendekat memanggilnya. “Uni, masih ingat saya?”, kata saya dengan suara keras. Upiak menatap, curiga,memperhatikan saya lama sekali. Ia berpikir keras. Ia menggelengkan kepalanya.

Saya kira ia lupa. Saya mencoba tersenyum, bersikap ramah ” Empat tahun lalu Uni memberi saya piti. Saya sekarang dirantau dan sedang pulang karena libur, ingat?, kata saya sambil mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Upiak menarik tangannya, ia menolak bersalaman. Upiak berpikir sesaat dan tiba tiba ia tersenyum, nampaknya ia ingat. “ambo ingek”, katanya masih menatap saya dengan senang.

Saya mempersilahkan Upiak mampir ke rumah tapi ia menolak. Kami berbincang-bincang cukup lama disaksikan banyak orang dari jauh. Saya tak mempedulikan suara suara mengejek yang saya
dengar. Saya sangat menikmati percakapan dengannya. Ada nuansa yang lain, nuansa keluguan, kepolosan dan kejujuran. Saya seperti tak bicara dengan gadis gila tapi dengan orang yang wise yang tinggi. Tak pernah saya lihat Upiak segembira hari itu. Angin bertiup pelan, udara sejuk dan cerah. Hidup menjadi sangat indah.

Tapi, tiba tiba suasana berubah, Upiak menatap saya dengan pandangan tak bersahabat ketika saya bertanya apakah ia sudah punya pacar atau sudah kawin “Apo?”, katanya, sambil memekik, raut mukanya mendadak berubah. Ia nampak sangat marah “Orang gilo mana yang mau dengan ambo?”, katanya dengan suara meninggi. Saya terpana dengan sikapnya, tak menyangka ia sensitif dengan pertanyaan itu. Ketika ia pergi saya mengejarnya dan berkata “Uni, dengarkan ambo, ambo tak ado niat menyinggung perasan Uni. Beri saya maaf, besok saya kembali ke Jakarta”, kata saya setengah mohon. “terimalah ini “, kata saya sambil menyerahkan sesuatu kepadanya. Sebuah kado yang memang sudah saya siapkan untuknya.

Dengan marah ia menolak pemberian saya dan pergi dengan muka menangis. Saya menatap kepergiannya sampai ia menghilang dari pandangan. Saya tercenung, merasa bersalah, sangat sedih dan tiba-tiba merasa sunyi. Saya menoleh ke atas, ke langit biru nan indah, tiba-tiba langit nampak mendung dan awan nampak gelap. Hujan akan turun. Hati terasa hampa, ada sesuatu yang hilang, yang tiada ternilai..

Tuhan mengatakan ia takkan menguji seseorang diluar batas kemampuannya, tapi saya merasa penderitaan Upiak sudah melewati batas kemampuannya. Ia hidup sendirian di dunia ini, tanpa cinta,
tanpa keluarga, dan didera hinaan setiap saat. Tak ada manusia yang bisa bertahan hidup tanpa cinta kasih orang lain. Cinta adalah rahmat terbesar dari Tuhan. Rugilah manusia yang hidup tanpa cinta. Saya tak tahu apa hikmah dibalik cobaan yang menimpa Upiak, saya ingin protes kenapa Tuhan membiarkan Upiak mengalami nasib tragis ini? Sungguh saya tak dapat menjawabnya, tapi saya percaya Tuhan maha pengasih dan penyayang. Cuma Tuhan yang tahu misteri dibalik semua ini.

Sejak itu saya tak pernah lagi bertemu Upiak, karena esoknya saya kembali kerantau. Setelah itu cukup sering saya pulang kampung, tapi saya tak pernah mendengar khabar tentangnya. Upiak sudah
hilang dan tak ada seorangpun lagi yang peduli dan mau tahu tentangnya. Sejarah tak pernah mencatat hidup rakyat kecil. Upiak, menurut seorang warga, pernah menanyakan saya kepada beberapa orang di kampung, dan Upiak nampak sedih saat diberi tahu saya sudah kembali ke Jakarta. Apakah ia ingat saya?. Apakah saya dapat bertemu kembali dengannya?Tak seorang pun tahu dimana dia. Konon ia telah pulang ke kampung halamannya yang abadi, menghadap sang khalik. Saya
teringat akan ucapannya “memberi lebih mulia daripada diberi”. Saya merasa ada utang yang belum terbayar kepadanya.

Tiba tiba saya merasa jatuh `cinta’ padanya. Cinta sebagai sesama mahluk Tuhan, cinta pada nasibnya, seperti cinta Tuhan pada hamba- Nya, seperti cinta hamba pada Tuhannya dan cinta pada seluruh derita hidup yang telah menderanya. Saat mau pulang dari masdjid malam ini saya memasukkan sesuatu dalam kotak amal dengan niat agar Tuhan menerimanya sebagai amal buat Upiak dan berdoa semoga Tuhan memberinya kasih sayang yang berlimpah. Saya percaya Tuhan telah menyiapkan sebuah tempat yang indah untuknya. Walahualam….

Elza Peldi Taher
Ditulis untuk sahabtku di kala kecil, upiak angguak angguak..

2 komentar:

  1. Sungguh kisah yang menyentuh pakk.. saya jadi terharu membacanya.. kisah ini mengingatkan saya pada teman saya.. :') (@MrTapeee)

    BalasHapus
  2. Subhanallah...
    Saya jadi mau menangis,,,tapi entah karena apa
    karena terharu dengan nasibnya, bangga dengan sikap bapak yang inspiratif, atau teringat uwa saya.
    4 bulan yang lalu uwa saya yang sakit jiwa meninggal. Dia sudah sejak sebelum saya lahir tinggal bersama-sama di rumah orang tua saya.
    Setiap hari saat uwa berjalan keliling kampung pasti dihina, ditertawai, dan bahkan banyak orang tua yang menakut-nakuti anak mereka bahwa uwa saya itu menyeramkan. Padahal uwa tidak pernah mengangganggu mereka, penampilannya pun selalu dijaga oleh ibu saya...

    Tulisan bapak bagus. Saya beruntung dipertemukan dengan Bapak sekaligus saya iri karena saya juga ingin jadi orang yang bermanfaat.

    BalasHapus