Diambil dari buku Manusia Gerobak, karya Elza Peldi Taher. Buku itu kini best-seller di Gramedia.
/1/
Majelis meja hijau,
Tanggal tigabelas bulan tiga tahun nol-tiga
Aku sedikit tercenung
Di hadapanku, pagi itu
Tiga kerat singkong
dan seorang nenek tua di kursi pesakitan
Kata si nenek tua:
Satu kerat buat anak yang sakit
Satu kerat buat cucu yang lapar
Satu kerat lagi,
“saya sudah tiga hari tidak makan”
Singkong bukan sembarang singkong
Singkong bermerek Tapioka Andalas
Milik seorang petinggi partai
berdalih memberi contoh
contoh penegakan hukum
”Lex dura sed tamen scripta
hukum itu kejam, kaku, dan keras1)
Ujar kaki tangan petinggi partai
kasus ini layak dibawa ke pengadilan
Jaksa pun tak kalah lugas
Bukan tiga kerat yang diembat
tapi singkong mukibat tiga ikat
Ibarat satu kilogram merica dibilang setengah ons2)
Maka, si nenek pantas dibui
kurungan seratus limapuluh hari
dan denda satu setengah juta rupiah
Aku harus mengetuk palu
Sembari memandang nenek di kursi pesakitan
“Saya tidak dapat membuat pengecualian hukum
hukum tetaplah hukum
nenek harus dihukum
Nenek dihukum denda satu juta rupiah
Bila nenek tidak mampu bayar
Nenek masuk bui duaratus hari
Atas nama meja hijau
Saya juga jatuhkan denda limapuluh ribu rupiah
pada tiap orang yang hadir di majelis ini
Karena, saudara-saudara sekalian
membiarkan nenek kelaparan”
Aku buka toga
Aku masukkan satu juta dari dompetku
“Saudara panitera, tolong bawa keliling
toga saya kepada semua yang hadir di sini
Serahkan kumpulan denda buat nenek”
Aku ketuk palu tiga kali
Penuh gerutu
Hadirin majelis satu per satu
Tidak terkecuali manajer Tapioka Andalas
yang tersipu malu
jatuhkan kertas nominal limapuluh ribu
Togaku pun penuh kertas nominal
Terhitung dua juta limaratus ribu rupiah
Nenek tua itu langsung bayar denda
Lalu pulang
bawa senyum buat anak dan cucu
/2/
Majelis meja hijau
Tanggal tigabelas bulan tiga tahun nol-lima
Aku sedikit dibuat jengah
Di hadapanku, pagi menjelang siang itu
Dua pasang sandal jepit harga ratusan ribu
dan seorang kakek di kursi terdakwa
Tutur si kakek tua:
”Limabelas tahun sudah
Saya menyiangi rumput
pada keluarga pengusaha permata
Terkadang
Ketika penagih utang datang
Saya mesti berbohong
‘maaf ibu sedang memburu barang antik’
Waktu dua cucu saya minta sandal
Ibu memberi dua pasang sandal
Satu model buaya satu lagi model dinosaurus
Waktu pesta diskon di mal
Satu pasang dibanderol tigaratus ribu”
Jaksa pun berujar:
Suatu malam yang gulita
Kakek pulang ke rumah kontrakannya
Majikan mencari-cari
Minta ditemani
Di tengah sunyi sendiri
Kakek tidak kunjung datang
Majikan menyusul dalam kesal
Melihat sandal buaya dan sandal dinosaurus
‘Kek, ini kan sandal anak saya
Di mana segenggam berlian,
sekantong sop buntut dan sebotol obat kumur’
Maka kakek layak dibui
kurungan seratus delapanpuluh hari
dan denda satu juta rupiah
Aku harus mengetuk palu
Sambil memandang kakek yang terus menunduk
Kataku jelas:
Memperhatikan pengakuan saksi
Dua pasang sandal apresiasi pengabdian
Atas nama meja hijau
Kakek bebas dari segala bentuk tuntutan hukum
Ongkos perkara duaribu limaratus rupiah
dibebankan kepada saksi pelapor
Jaksa langsung kasasi mahkamah yang agung
Minta kakek tetap dibui kurungan seratus delapanpuluh hari
/3/
Beberapa bulan berselang
Aku diangkat menjadi hakim yang agung
dan mahkamah yang agung tetapkan tiga hakim
tangani perkara kakek dan dua pasang sandal
Majelis kasasi lalu bersidang
Aku jadi ketua majelis mahkamah yang agung
Pendapatku:
“Kakek bebas dari segala tuntutan
dua pasang sandal itu pemberian majikan
Kasasi yang diajukan jaksa tidak dapat diterima
niet ontvankelijke verklaard”
Pikiran kolegaku:
“Kakek bersalah mencuri
Segenggam berlian itu bukan milik kakek”
Benak kolegaku yang satu lagi:
“Kakek bersalah mengambil tanpa hak
obat kumur itu milik majikan.”
Majelis kasasi menjatuhkan vonis3)
Putusan pengadilan tingkat pertama batal
Kakek mesti hidup di bui seratus delapanpuluh hari
Kakek telah berpindah tinggal
Jauh dari rumah majikannya yang pengusaha permata
Bahkan, melintas batas kota
Menikmati hari tua
Bercengkerama bersama anak-cucu
Tiba-tiba
Datang sepucuk surat
Kop mahkamah yang agung
Mengabarkan kakek harus masuk bui
Sontak kakek rebah
Di pundak si cucu
Diam membisu
Raut wajah membiru
Pada akhir batas waktu
/4/
Majelis mahkamah yang agung
Tanggal 13 bulan tiga tahun nol-sembilan
Aku dan dua kolegaku
seonggok memori kasasi
atas putusan pencemaran nama baik
curahan hati lewat dunia maya
Pengadilan negeri putuskan salah
Enam bulan bui dengan percobaan
si pencurah hati yang kecewa
pada pelayanan rumah sakit
Aku yakin
Si pencurah hati tidak salah
Dia cuma curhat
pada batas komunitas dunia maya
Kolegaku yang ketua majelis
dan satu rekan anggota majelis berbeda
Si pencurah hati terbukti
cemarkan nama tenar rumah sakit
meski di komunitas terbatas
Majelis pun ketuk palu
Si pencurah hati
Mesti hidup di bui 200 hari
dengan 400 hari masa percobaan
Dengan gontai aku balik
pada rumahku yang mungil
di kaki bukit Ciragil
Isteri t’lah menanti
(kali ini) dalam tanda tanya
Selembar cek baru saja dia terima
bawah nama klinik ternama
“Ma, pulangkan saja pada yang punya”
/5/
Majelis mahkamah yang agung
Tanggal 13 bulan tiga tahun sepuluh
Kembali aku dan dua kolegaku
Seonggok memori peninjauan
Atas vonis 15 tahun penjara pembunuh artis
dengan lagak overdosis
Tidak salah lagi, pikirku
Racikan yang membuat kulit biru
Si artis memasuki batas waktu
Sang pembunuh lama meramu
15 tahun singkat terlalu
Seumur hidup lebih patut
Benak dua kolegaku anggota majelis
Si artis memang pengguna narkotik
ketergantungan yang merakut
senantiasa berlebih
mendekati bibir ajal
Sang pembunuh
Di waktu dan tempat
yang tidak tepat
Tak sepantasnya 15 tahun dibui
Majelis memutus
Cukuplah 8 tahun
Sang pembunuh di balik jeruji
Rasa keadilan terkoyak
Ingin rasanya berontak
Pada sistem yang retak
Nurani yang nihil watak
Ah, gelayut pesimis
Pulang saja ke rumahku yang mungil
di kaki bukit Ciragil
Isteriku kembali mengagetkan
Segepok amplop tunai
Lembaran-lembaran
“I Gusti Ngurah Rai”4)
Tiada alamat jelas
Aku berkerut kening
Haruskah tanya Ayu Tingting
Tercetus ide sinting
Masukkan amplop
dalam kotak amal
saat aku naik Kopaja
menuju zona merah kota
Tapi, aku teringat
Pada kata-kata bijak
“Barangsiapa memperoleh harta
dari jalan yang haram
lalu buat bersilaturrahim
disedekahkan
dinafkahkan di jalan Allah
semua itu akan terasa sia-sia
dibakar api neraka”5)
Aku batal ‘beramal’
pada kotak amal
takut bikin kumal
hati yang kamal
/6/
Majelis mahkamah yang agung
Tanggal 13 bulan tiga tahun sebelas
Kali ini kuhadapi onggokan berkas kasasi
Perkara yang menguras perhatian masyarakat
Perkara jaksa yang disuap
oleh kaki tangan konglomerat hitam
yang takut ditagih utang negara
Aku bersama empat kolega
Bersidang tiada jeda
Nuraniku bicara
Kaki tangan itu sungguh terlalu
Melanggengkan mafia peradilan
Membangkrutkan uang negara
Merusak ekonomi masyarakat
Tidak cukuplah lima tahun di bui
Sebelas tahun lebih cocok
Lagi-lagi empat kolegaku senada
Jaksa itu tak punya malu
Disuap kok ya mau
Membuka jalan sekongkol
Kaki tangan itu
cuma memasuki jalan terbuka
Tidak layak luma tahun di bui
Cukup empat tahun enam bulan6)
Vonis pun kembali tidak bulat
Pendapatku kalah suara
Suara dewa kaum hedonis
yang menghalalkan segala cara
sesebentar mungkin masuk penjara
Lekas aku berkemas
Bergegas dengan langkah lepas
Pulang ke rumah mungil
Di kaki bukit Ciragil
Baru kaki mau melemas
Satu amplop di sela bunga hias
Lembar-lembar dolar
Setara rupiah dalam miliar
Bawah nama kacau
Bikin pikiran risau
Kendati galau
Tekadku bulat
Bawa amplop dolar
dan secarik surat
“’Tuk menambal jalan abal-abal”
Aku susuri jalan-jalan strategis
Penuh lubang menganga
Kubangan kerbau saat hujan
Anak-anak muda
Seember kerikil dan puing
Menengadah topi lusuh
Menahun …
Aku jatuhkan amplop dolar
Aku ingin jalan itu mulus
Angkot-angkot melaju
Tiada lagi serapah penuh gerutu
Got7) di kanan-kiri jalan
lancar mengalir
tak lagi tumpah
melumat aspal
menggerus beton
Lega hatiku
Kembali ke rumah mungil
di kaki bukit Ciragil
Dalam kehangatan anak-isteri
tiada bara kayu bakar
tiada darah hitam pekat
———————–
1) Hukum yang bersifat memaksa dan tanpa kompromi terbukti sudah berlaku di bumi pertiwi Indonesia. Sistem ini memang pada dasarnya sebuah pembelajaran agar setiap orang mematuhinya. Sayangnya, hukum yang kejam, kaku dan keras tidak berlaku bagi pelaku kejahatan hak azasi manusia, bagi koruptor, bagi pelaku yang merendahkan moral dan martabat bangsa. Penjahat, pejabat dan penegak hukum telah berkolusi menjadi satu. Prinsip ini hanya berlaku buat Rasminah (56) yang dituduh mencuri enam buah piring, Rawi (66) yang didakwa mencuri satu ons merica, dan Samsu Alam yang dituding mencuri celana dalam wanita.
2)Gara-gara mengambil satu ons merica, Rawi (seorang kakek berusia 66 tahun) disidang di Pengadilan Negeri Sinjai, Suawesi Selatan. Tapi, barang bukti yang dibawa ke pengadilan adalah setengah kilogram merica. Supriyadi, salah seorang saksi, mengatakan dia disuruh polisi untuk menambahkan merica sampai jumlah yang layak barang bukti.
3)Vonis tidak bulat. Salah satu hakim mengajukan beda pendapat (dissenting opinion).
4)I Gusti Ngurah Rai, Pahlawan Nasional asal Bali. Gambar potretnya kini dipasang di uang kertas nominal lima puluh ribu rupiah.
5)Sebuah hadits ditulis oleh al-Qasim bin Mukhaimarah dalam bukunya Marasil. Kalimat sedikit dimodifikasi dalam bahasa puisi.
6)Dengan seribu kata maaf bila kalimat ini mirip dengan pendapat hakim agung Imam Haryadi saat menangani kasasi Kasus Artalyta Suryani yang mengurangi hukuman Artalyta Suryani alias Ayin dari 5 tahun menjadi 4 tahun 6 bulan penjara. Sementara pada peradilan tingkat pertama, Artalyta dihukum lima tahun penjara dan denda Rp250 juta karena terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar 660 ribu dollar AS. Menurut catatan hukum beberapa media massa, Imam Haryadi bergabung dengan anggota majelis hakim lain yang terdiri dari Djoko Sarwoko (ketua), Hatta Ali, Krisna Harahap dan Sofyan Martabaya.
7)Di Negeri Jiran Malaysia, dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, pemasukan yang haram (pajak judi, retribusi minuman keras, pajak babi) dan diragukan kehalalannya (hasil korupsi dan suap aparat, cukai rokok) dimasukkan ke rekening khusus dengan alokasi peruntukan tersendiri, antara lain untuk membangun got, tempat pembuangan sampah, tempat penampungan air limbah. dan infrastruktur yang kotor-kotor. Tidak digunakan untuk membayar gaji “kaki tangan kerajaan” (aparatur pemerintah/negara).
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances