• Manusia Gerobak

    Kisah nyata Atmo, Si Manusia Gerobak, yang dinarasikan dalam sebuah puisi-esai yang indah dan menyentuh hati... Read more
  • @filecaknur

    Repositori pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur), di-tweet setiap hari dan sudah dibukukan menjadi tiga jilid buku Read more
  • Buku, Pemikiran dan Pengetahuan

    Catatan-catatan pribadi saya tentang berbagai gagasan tentang hal-hal yang terjadi di sekeliling hidup kita Read more

Lomba Penulisan Esei tentang Pemikiran Cak Nur: Cak Nur, Islam, dan Negara Modern



Nurcholish Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur, mustahil dipisahkan dari pembicaraan tentang Islam di Indonesia, bahkan tentang Indonesia secara keseluruhan. Ia salah seorang anak bangsa yang terbesar, dengan kontribusi yang tidak kalah besarnya. Bukan saja karena dalam dirinya terkandung banyak unsur sejati kebangsaan Indonesia, tetapi juga karena padanya pulalah unsur – unsur itu mendapatkan pencapaiannya yang amat tinggi. Semuanya itu ia abdikan bukan bagi kepentingan kelompoknya, tapi bagi bangsa dan Negara secara keseluruhan.

Semasa hidupnya,  17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005, Cak Nur dikenal sebagai cendikiawan yang gigih memperjuangkan gagasan pluralisme Islam, dan dikenal sebagai perumus “wajah Islam Indonesia” yang empati dan inklusif melalui penyerasian tiga tema besar yang cukup sofistikatif : keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan.

Nurcholish adalah sosok cendikiawan yang tanpa pamrih. Dengan keberanian moralnya yang nothing to loose, dia tampil dengan gagasan – gagasan yang segar dan membebaskan. Kalaupun dia dicitrakan sebagai sosok kontroversial, itu sepenuhnya bias dimakluminya. Baginya, kontroversi menjadi semacam hukum alam  (sunnah Allah) yang tidak bias dielakkan. Pada dirinya berlaku pepatah inggris: “to avoid critism, do nothing, say nothing and be nothing!” Ia tidak mau menjadi nothing- bukan karena dia mengharapkan popularitas, tetapi karena ia memandang bahwa itulah tugas yang harus diembannya sebagai hamba Allah.

Mengenang Cak Nur, kami FileCaknur dan Nurcholish Madjid Society (NCMS),  Panitia Haul Cak Nur 11 menyelenggarakan lomba penulisan esei tentang pemikiran Cak Nur di dua bidang, keislaman dan kenegaraan.


SYARAT LOMBA
  1. 1. Lomba hanya berlaku untuk mereka yang masih berstatus mahasiswa S1/S2/S3/Umum maksimal usia 35 tahun pada 29 Agustus 2014.
  2. 2. Karangan harus disandarkan pada tiga buku utama Cak Nur sebagai bahan rujukan: 1. Islam, Dokrin, Peradaban (Link Baca Online: http://www.abad-demokrasi.com/node/549); 2. Keindonesiaan, Keislaman, dan Kemoderenan; 3. Indonesia Kita. Buku dapat diperoleh di toko buku Gramedia dan toko buku lainnya.
  3. 3. Karangan bisa berbentuk ulasan, kritik, refleksi, atau kontekstualisasi atas pemikiran-pemikiran Cak Nur yang terkandung dalam tiga buku di atas. Boleh diulas ketiganya sekaligus atau salah satu.
  4. 4. Panjang karangan antara 7 – 10 halaman, spasi ganda.
  5. 5. Karangan bisa ditulis dalam bahasa Indonesia, Arab, atau Inggris.
  6. 6. Karangan harus dikirim selambat-lambatnya pada 31 Oktober 2014 ke email filecaknur@yahoo.co.id. dengan menyertakan identitas diri, nama, alamat, kontak phone.
  7. 7. Pengumuman pemenang lomba akan dilakukan pada 08 November 2014. (Para pemenang akan dihubungi langsung oleh panitia melalui telpon atau email).
HADIAH LOMBA
Juara I             Rp 7. 500.000,-
Juara II            Rp 4.000.000,-
Juara III           Rp 2.000.000,-
Juara harapan I, II, dan III masing-masing Rp 1.000.000,-

Catatan: 
1. Peserta lomba yang tulisannya dianggap layak oleh juri akan mendapat 3 buah buku 
    FileCakNur karya Nurcholish Madjid. 
2. Tulisan yang dianggap layak Insya Allah akan dibukukan.

DEWAN JURI
Ketua      : Dr. Budhy Munawar Rachman
Anggota  : Dr. Ali Munhanif, Dr. Neng Dara Affiah, 
                  Ulil Abshar Abdalla, MA, Muhammad Wahyuni Nafis, MA

KESEKRETARIATAN
Futsal Camp, Jalan Martadinata 19 Ciputat, Email filecaknur@yahoo.co.id 
Phone 082234010840

Diskusi : Atas Nama Tuhan - Inspirasi.co

Diskusi : Atas Nama Tuhan - Inspirasi.co

Masa Depan Rumah Gadang



Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa etos merantau orang minangkabausangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Merantaudisini dimaksudkan sebagai orang yang pindah atau migrasi ke luar SumatraBarat. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim 1973,(Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore), padatahun 1961 ada sekitar 32 % orang Minang berada di luar Sumatra Barat, tapipada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 persen. Berarti hampir separuh orang Minang berada di luar Sumatra Barat.

Jika hal ini benar, maka berarti ada perubahan cukup besar pada jumlahmerantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebabmenurut sensus tahun 1930, perantau tertinggi di Indonesia adalah orang Bawean, 35, 9 %, kemudian Sumatra Utara 14,3 %, lalu Banjar 14,2 % dan nomorempat suku Minang 10, 5 %. Beberapa suku yang juga punya etos merantauyang kuat adalah Bugis, Manado dan Ambon.

Saya yakin jika dilakukan penelitian saat ini, migrasi orang minangkabau keluar Sumatra Barat, bisa mencapai 60 persen lebih. Mereka tersebar dariSabang, Medan, Jawa hingga Marauke, bahkan ke luar negeri. Keluarga saya mungkin bisa diambil sebagai sample. Dari sembilan bersaudara hanya tigayang berada di kampung, semuanya perempuan, sedang yang lainnya mengadunasib di negeri orang. Dari 56 cucu nenek saya atau sepupu saya, lebih dari70 %, mencari hidup, kawin, kemudian punya anak dan cucu di rantau. Jikapada tahun 1970-an, yang merantau kebanyakan kaum lelaki, pada tahun1980-an, apalagi tahun 1990-an , wanita minangkabau sudah lazim merantau,tak hanya melulu karena alasan ikut suami tapi juga karena alasan berdagang,karir dan pendidikan.


Faktor penyebab

Ada banyak penjelasan terhadap pertanyaan ini, tapi saya ingin mencarijawabannya dari satu sudut saja yaitu karena sistem kekerabatan yangmatrilineal di minangkabau. Sistem ini telah mendorong terjadinya eksodus secara besar besaran kaum lelaki minangkabau keluar dari daerahnya mencarihidup yang lebih baik terutama ketika pertumbuhan penduduk makin bertambahsementara daya dukung alamnya tidak bertambah. Jika dulu hasil pertanian danperkebunan, sumber utama tempat mereka hidup bisa bisa menghidupi keluarga,makin kemudian hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama merekaitu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama karenaharus dibagi beberapa keluarga. Sawah dan perkebunan yang luas yang dulu menghidupi satu dua keluarga, kini harus menghidupi ratusan kepala keluarga. Karena itu tak ada pilihan lain, laki laki minang harus pergi merantaumengadu nasib di negeri orang.

Mengapa laki laki yang eksodus dan bukan perempuan? Suku minangkabau dikenalsebagai satu-satunya suku yang menggunakan sistem matrilinial dalammenentukan garis keturunannya, yaitu penggunaan keturunan ibu, bukan silsilah bapak seperti terdapat di daerah-daerah lain.Walaupun sistemmatrinilinial ini makin mengalami modifikasi akibat perubahan zaman, tapisecara budaya ia tetap melembaga dan hidup dalam alam pikiran sukuminangkabau.

Dalam system ini ibu adalah tempat menarik garis keturunan keluarga. Rumahgadang dibangun berdasarkan berapa jumlah keturunan garis perempuan. Semuakekayaan keluarga akan jatuh kepada keturunan perempuan. Berapa besarjumlah kamar rumah gadang dibuat tergantung kepada berapa jumlah anak gadismereka. Tak ada kamar yang dibuat untuk laki-laki. Laki laki tidur di ruang tengah, jika sudah agak besar mereka akan menghabiskan waktunya di surauatau lapau atau di masdjid. Anak perempuan yang kawin akan membawa suaminyake rumah mereka dan tidur di kamar yang sudah disediakan. Di rumahmertuanya, nasib lelaki juga sama; tak punya kekuasaan apa apa karena semuakeputusan ada ditangan keluarga perempuan.

Bila terjadi konflik dengan isteri atau ibu mertua, laki-laki akan pulangdengan hanya sebungkus pakaian ke rumah orangtuanya, tidak bisa membawa anakatau menuntut harta gono-gini meski si laki laki punya andil besar disitu.

Kesadaran seperti inilah yang membangkitkan etos merantau di kalangan lakilaki minang. Sebaik baiknya hidup adalah pergi merantau. Karena itu banyaklaki laki minang, jika keluarganya tak mampu membiayai, nekad berangkatdengan modal dengkul dan hidup berpahit pahit dirantau agar nasibnya bisaberubah.

Sukses tidaknya laki laki minang merantau akan menaikkan atau menurunkanharga diri laki laki itu di kampungnya. Jika sukses, biasanya diukur cukupdengan sering tidaknya dia berkirim uang ke kampungnya. Kalau seringnamanya akan terkenal di kampung dan para ibu akan berlomba lombamengambilnya menjadi menantu. Meski dia tak sukses, tapi bertahan hidup dirantau harganya tetap jauh lebih tinggi dibanding laki laki yang tidak merantau. Di minang di sebagian daerah justru kaum perempuanlah yang melamarlaki laki, dan bukan laki laki melamar perempuan seperti di daerah lain.

Rumah Gadang: Museum Sejarah? Karena itu tidaklah mengherankan terjadinyaeksodus besar besaran kaum laki laki minang dalam tiga empat dasawarsaterahir, terutama sejak modernisasi di kota yang membuka peluang untuk bekerja terutama sebagai pedagang. Perubahan perubahan yang terjadi akibatmodernisasi dalam tiga dasawarsa berdampak besar pada sistem kekerabatanmatriarkat yang hidup dalam budaya minangkabau. Sewaktu pulang kampungbeberapa waktu lalu saya cukup terkejut melihat fenomena yang kini sedangterjadi. Fenomena itu adalah pertama, rumah gadang sebagai simbol sistembudaya minang nampaknya akan kehilangan fungsinya sebagai rumah gadang. Jikadulu rumah kaum itu dihuni banyak keluarga keturunan ibu, kini rumah gadang tersebut banyak yang kosong. Bahkan banyak rumah gadang yang harus mencaripenghuni bukan dari kaumnya, supaya ada yang merawat sebab semua kaumnya merantau. Banyak induak induak kesepian di rumahnya, karena semua anaknyapergi merantau.

Memang banyak kaum yang merenovasi rumah gadangnya, dibangun yang rancak dananggun, tapi itu dilakukan bukan untuk ditempati, melainkan hanya sebagaiornamen, sebagai simbol keluarga. Paling sekali dalam setahun, saat lebaranmereka berkumpul di rumah gadang tersebut. Dengan kata lain rumah gadangdikuatirkan menjadi museum suatu keluarga. Fenomena yang kedua, memudarnyaperanan ninik mamak sebagai kepala kaum. Terutama di daerah agraris sepertisolok-selatan, selain kampung terasa agak lengang, jumlah perempuan jauh lebih banyak dari laki laki.

Beberapa keluarga suku atau kaum kesulitan untuk mencari ninik mamak ataupemimpin kaum yang pandai karena putera putera terbaiknya lebih banyakdirantau. Padahal ninik mamak sebagai kepala kaum lazimnya berada di kampung memimpin kaumnya. Karena tak ada pilihan lain, diangkatlah ninikmamak yang sebenarnya kurang punya wibawa di kaumnya. Dulu posisi itudiperebutkan dalam keluarga, karena ninik mamak punya posisi terhormat dimasyarakatnya, tapi kini banyak yang enggan memikulnya karena tidak lagi prestisus.

Hal ini diperpercepat oleh terjadinya pergeseran tentang apa yang disebutKeluarga. Orang minang bangga menyebut keluarga mereka sebagai keluargabesar. Dalam konsep ini, jika ada seseorang anak- kemenakan, meskipun jauhhubungannya, hidup terlantar maka keluarga besar bertanggung-jawab mendidikdan membesarkannya. Kalau tidak nama keluarga itu akan cacad dimasyarakatnya. Karena itu jika ada yang sukses dalam keluarga itu, makasukses itu juga akan dinikmati oleh semuanya. Jika dia seorang paman dia
selain bertanggung-jawab kepada anak isterinya juga membantu menyekolahkankeponakannya. Tapi sekarang konsep itu telah bergeser. Makna dan fungsikeluarga besar mulai rapuh, akibat pengaruh budaya modern.

Muncullah apa yang disebut dalam budaya modern yaitu keluarga inti. Keluargakini terdiri dari orangtua dan anak kandungnya saja, sebagaimana lazimnyamasyarakat modern. Kalau ada saudara diluar keluarga inti hidup susah, makaitu akan dilihat sebagai konsekwensi hidup yang harus ditanggung sendirioleh yang bersangkutan, meski itu adik atau kakak kandungnya. Budaya hidupbarat yang menekankan tanggung-jawab pribadi, mulai terasa’dampaknyaterutama di rantau. Jika seorang padusi minang tinggal dirantau bersamasuaminya yang bukan Orang minanag, tentu ia tak dapat memberi izin padasaudaranya menumpang di rumahnya, tanpa izin suaminya. Fenomena ini sayakira akan berdampak pada terancamnya fungsi dan peran rumah gadang sebagaisimbol sistem kekerabatan minangkabau yang dibanggakan itu. Dunia sedangberubah dan suku Minang harus siap menghadapi perubahan. (***)

Elza Peldi Taher, lahir di Muara Labuh,  Solok selatan.


Upiak Angguak-angguak: Gadis Minang Yang Malang



Kahlil Gibran pernah menulis “kenangan adalah anugrah Tuhan yang tak dapat dihancurkan oleh maut”. Malam ini, tiba tiba saya terkenang kepada seorang wanita. Ingatan saya melayang ke kampung, nun jauh ke masa silam, tigapuluh sekian tahun lalu. Waktu itu saya berusia menjelang dua belas tahun, sedang wanita itu mungkin tujuh tahun lebih tua dari saya.

Konon ia lahir sekitar tahun 1955 dan tinggal di Desa Balun, Muaralabuh, seratus dua puluh kilometer dari Padang. Sekali dalam seminggu, ia pergi berjalan kaki melewati desa desa Muara Labuh sampai ke Pakan Salasa, sesekali bahkan sampai ke Lubuak Gadang, menjalankan pekerjaannya; meminta sedekah dari orang kampung. Perjalanan panjang sejauh 40 Km itu ditempuhnya seharian penuh. Begitu rutinnya ia datang sehingga namanya terkenal seluruh kampung. Orang kampung memanggilnya ” Upiak angguak angguak”.

Di kampung waktu itu `bersedekah’ diyakini sebagai perbuatan mulia dan dibalas Allah berlipat ganda. Karenanya Upiak tak terlalu sulit mendapatkan `sedekah’ orang lain, meski hidup mereka juga pahit.
Kala itu menjadi peminta, atau pengemis istilah kini, dipandang sebagai pekerjaan hina. Jangankan jadi penerima `sedekah’, beberapa desa bahkan melarang warganya bekerja yang sifatnya melayani orang lain seperti pekerjaan pembantu sekarang, karena dianggap merendahkan derajat kampung. Upiak, merupakan pengecualian waktu itu.

Sebagai gadis yang masih belasan tahun, wajah Upiak memang tidak cantik, raut mukanya agak seram, terkesan pemarah, badan tak terurus, rambut panjang sampai ke pinggang, tapi yang menakutkan anak anak ialah kepalanya yang terus menggangguk-angguk. Itulah sebabnya orang menyebutnya upiak angguak angguak. Tak ada waktu yang terlewatkan tanpa anggukan kepalanya, lagi mandi, lagi makan, lagi bicara bahkan saat sedang sholatpun ia mengangguk. Konon, ia hanya
berhenti mengangguk kalau tidur. Tidurpun tak bisa lama, begitu bangun kepalanya otomatis mengangguk. Sampai saat ini saya tak tahu apa nama penyakit Upiak, dan belum pernah bertemu orang yang punya penyakit sepertinya.

Dari raut mukanya saya tahu Upiak tersiksa dengan nasibnya. Konon, ia hidup sebatang-kara, kedua orang-tuanya sudah meninggal, tak punya keluarga. Ada keluarga jauh tapi tak mau mengakuinya karena malu atas penyakitnya. Ada yang bilang Upiak sudah begitu sejak kecil, tapi sebagian lagi berkata karena kutukan sebab ia durhaka menyakiti ibunya. Saya tak percaya Upiak durhaka dan dikutuk Tuhan. Hati kecil saya mengatakan Upiak orang baik. Tuhan tidak kejam, Tuhan maha pengasih dan penyayang. Saya yakin itu cuma penyakit.

Jika melewati desa desa sepanjang Muara Labuh, Upiak sudah faham betul mana rumah yang ia singgahi, mana rumah yang ia abaikan. Dari Balun, Pakan Rabaa, sungai Aro, Lundang, laweh, Rawang saya tahu betul penduduk yang berbaik hati pada si upiak dan mana yang menutup pintu bila Upiak datang. Beberapa ibu ibu di Batang Laweh bersikap ramah setiap kali Upiak lewat, mempersilahkannya masuk, memberinya minum dan bahkan ada yang memberi makan disamping sedekah.

Biasanya ia singgah tak lama, paling lima menit lalu pergi ke rumah yang lain. Yang pasti setiap kali Upiak datang ia menjadi tontonan anak anak dari jauh, dan setiap kali pula selalu bersikap menghina. Betapapun Upiak mencoba bersikap ramah anak anak tetap menjauh.

Setiap kali ia datang anak anak se-usia saya berlari ketakutan menjauh darinya, tak ada yang berani mendekat. Dari jauh mereka meneriaki Upiak dengan kata menyakitkan ` upiak padusi gilo lewe, Upiak angguak angguak datang” kata mereka bersorak seperti mendapat hiburan, dan berkerumun mengikutinya.

Meski demikian Upiak mencoba bersikap baik kepada kami. Bahasa tubuhnya menampakkan sikap bersahabat dan ramah, tapi anak anak sudah kepalang takut melihat wajahnya. Seiring berjalannya waktu toh Upiak terbiasa dengan sikap yang menyakitkan itu, dan menerimanya sebagai perjalanan hidup yang harus dilaluinya.

Berbeda dengan anak anak lain, saya tidak takut pada Upiak. Saya tak pernah mengejeknya, dan bahkan selalu bersikap hormat dan bersahabat padanya. Saya sering memarahi teman yang mengejeknya. Setiap berpandangan saya selalu tersenyum ramah. Dibalik wajahnya yang menakutkan, saya tahu Upiak orang baik, dan dia ingin diperlakukan sama seperti yang lain. Lama lama Upiak nampaknya tahu saya berbeda dengan anak yang lain. Ia tahu bahwa saya bersahabat kepadanya dan tak suka ia diperlakukan seperti itu.

Suatu saat, musim semi tahun 1974, saat Jakarta baru saja dilanda huru-hara Malari, saya kepergok dalam jarak tak sampai dua meter dari si Upiak di desa Batang-laweh, waktu itu ia baru keluar rumah seseorang penduduk. Awalnya saya terkejut, sedikit gugup tapi berusaha bersikap tenang dan tidak lari seperti anak anak lainnya. Saya tidak menampakkan wajah yang takut, karena saya memang tidak
takut padanya. Meski pun demikian saya gugup juga ketika ia mendekat dan menatap saya dengan tajam. ” Dari mano diak”, katanya menyapa ramah. ” Pulang menjual ikan “, kata saya agak gugup sambil memperlihatkan ember yang sudah kosong. Kadang kadang kalau lagi butuh uang saya mengambil ikan di kolam dan menjualnya keliling kampung sambil berteriak “Lawuuaak…ikaan..ikaaan”.

Saya berteriak sambil menaruh ember yang diisi ikan di kapala saya. “Syukurlah,lakuu ya….”, kata Upiak, sambil kepalanya mengangguk. Ia makin dekat dan saya mencium bau tak sedap. “singgahlah”, kata saya sambil > menenangkan hati. Upiak ketawa terbahak bahak, saya lihat kegembiraan diwajahnya. Saya tak pernah melihatnya tertawa seperti itu. Mungkin ia tahu saya cuma basa basi, sebab di rumah hanya ada saya dan ibu dan kalau siang ibu saya pergi ke sawah. “Tidak, terima asih, ambo pergi ya..” katanya.

Tiba-tiba tangannya memegang tangan saya mendadak, memberikan sesuatu dan pergi. Ketika saya buka, saya terkejut.. uang. Dengan agak gugup saya berkata” Uni, ini pitinya saya kembalikan, sebenarnya saya ingin memberi uni piti hasil jualan ikan tadi” kata saya kepadanya. Upiak berbalik menatap saya dan berkata ” Terimalah, selama hidup saya hanya menerima dari orang, saya lebih senang memberi tapi.. “, Upiak tak melanjutkan katanya, matanya menerawang ke langit. Ia nampak terharu. “Saya senang, baru pertama kali seumur hidup saya dipanggil Uni, bukan Upiak gilo”, katanya sambil berlalu. Saya sempat menatap mukanya, ada nada sendu dimatanya. Kejadian itu berlalu begitu cepat, saya terpana dan tersadar oleh panggilan teman teman yang metertawakan saya. Saya acuh saja. Mereka mengira pasti saya ketakutan.

Malamnya saya tak dapat tidur memikirkan makna kejadian bersejarah sore itu. Bersejarah karena sayalah orang pertama usia sebaya yang mau berbicara dalam jarak dekat dengan Upiak. Perasaan saya berkecamuk, campur-aduk. Betulkah ia merasa dihargai?. Betulkah ia senang dipanggil Uni dan bukan si Upiak gilo seperti yang dialaminya tiap hari? Kata Upiak “memberi lebih mulia dari menerima”, terngiang-ngiang di telinga saya. Upiak tak kuasa melawan takdir, ia ingin diperlakukan sama sebagai manusia terhormat, bukan dihina dan dicerca. Saya tak tahu apa dosanya hingga ia diperlalukan seperti itu.

Saya tahu ia kesepian dan hidup baginya terasa kejam. Wajah Upiak yang sendu saat menatap saya tak dapat saya lupakan. Dibalik wajahnya yang buruk, saya melihat ada `kecantikan’ didalamnya. Kecantikan yang tak terlihat dan hanya bisa dirasakan melalui penghayatan. Melalui perasaan, melalui hati.

Tak lama kemudian saya pergi merantau ke Jakarta. Tentu saja saya tak dapat lagi bertemu Upiak. Saya tenggelam oleh rutininas kehidupan. Empat tahun kemudian ketika pulang kampung pertama kali, takdir mempertemukan saya kembali dengannya di tempat yang sama, di loniang depan masjid Batang-laweh, tempat dulu kami bicara pertama kali. Waktu itu sore hari, saya usai shalat di masdjid Laweh. Dari jauh saya lihat Upiak berjalan sambil kepalanya mengangguk-ngangguk seperti biasanya. Dan anak anak..huh.., dunia tak juga berubah, berkerumun mengikutinya sambil menghina.

Wajahnya sudah berubah,sudah nampak tua, rambutnya sudah agak tipis, nampak lelah, kurang bersemangat, dan dari raut mukanya..saya tahu ia sangat menderita.Upiak sudah kehilangan semangat hidup. Tapi saya senang sekali melihatnya. Begitu melihat saya mendekat memanggilnya. “Uni, masih ingat saya?”, kata saya dengan suara keras. Upiak menatap, curiga,memperhatikan saya lama sekali. Ia berpikir keras. Ia menggelengkan kepalanya.

Saya kira ia lupa. Saya mencoba tersenyum, bersikap ramah ” Empat tahun lalu Uni memberi saya piti. Saya sekarang dirantau dan sedang pulang karena libur, ingat?, kata saya sambil mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Upiak menarik tangannya, ia menolak bersalaman. Upiak berpikir sesaat dan tiba tiba ia tersenyum, nampaknya ia ingat. “ambo ingek”, katanya masih menatap saya dengan senang.

Saya mempersilahkan Upiak mampir ke rumah tapi ia menolak. Kami berbincang-bincang cukup lama disaksikan banyak orang dari jauh. Saya tak mempedulikan suara suara mengejek yang saya
dengar. Saya sangat menikmati percakapan dengannya. Ada nuansa yang lain, nuansa keluguan, kepolosan dan kejujuran. Saya seperti tak bicara dengan gadis gila tapi dengan orang yang wise yang tinggi. Tak pernah saya lihat Upiak segembira hari itu. Angin bertiup pelan, udara sejuk dan cerah. Hidup menjadi sangat indah.

Tapi, tiba tiba suasana berubah, Upiak menatap saya dengan pandangan tak bersahabat ketika saya bertanya apakah ia sudah punya pacar atau sudah kawin “Apo?”, katanya, sambil memekik, raut mukanya mendadak berubah. Ia nampak sangat marah “Orang gilo mana yang mau dengan ambo?”, katanya dengan suara meninggi. Saya terpana dengan sikapnya, tak menyangka ia sensitif dengan pertanyaan itu. Ketika ia pergi saya mengejarnya dan berkata “Uni, dengarkan ambo, ambo tak ado niat menyinggung perasan Uni. Beri saya maaf, besok saya kembali ke Jakarta”, kata saya setengah mohon. “terimalah ini “, kata saya sambil menyerahkan sesuatu kepadanya. Sebuah kado yang memang sudah saya siapkan untuknya.

Dengan marah ia menolak pemberian saya dan pergi dengan muka menangis. Saya menatap kepergiannya sampai ia menghilang dari pandangan. Saya tercenung, merasa bersalah, sangat sedih dan tiba-tiba merasa sunyi. Saya menoleh ke atas, ke langit biru nan indah, tiba-tiba langit nampak mendung dan awan nampak gelap. Hujan akan turun. Hati terasa hampa, ada sesuatu yang hilang, yang tiada ternilai..

Tuhan mengatakan ia takkan menguji seseorang diluar batas kemampuannya, tapi saya merasa penderitaan Upiak sudah melewati batas kemampuannya. Ia hidup sendirian di dunia ini, tanpa cinta,
tanpa keluarga, dan didera hinaan setiap saat. Tak ada manusia yang bisa bertahan hidup tanpa cinta kasih orang lain. Cinta adalah rahmat terbesar dari Tuhan. Rugilah manusia yang hidup tanpa cinta. Saya tak tahu apa hikmah dibalik cobaan yang menimpa Upiak, saya ingin protes kenapa Tuhan membiarkan Upiak mengalami nasib tragis ini? Sungguh saya tak dapat menjawabnya, tapi saya percaya Tuhan maha pengasih dan penyayang. Cuma Tuhan yang tahu misteri dibalik semua ini.

Sejak itu saya tak pernah lagi bertemu Upiak, karena esoknya saya kembali kerantau. Setelah itu cukup sering saya pulang kampung, tapi saya tak pernah mendengar khabar tentangnya. Upiak sudah
hilang dan tak ada seorangpun lagi yang peduli dan mau tahu tentangnya. Sejarah tak pernah mencatat hidup rakyat kecil. Upiak, menurut seorang warga, pernah menanyakan saya kepada beberapa orang di kampung, dan Upiak nampak sedih saat diberi tahu saya sudah kembali ke Jakarta. Apakah ia ingat saya?. Apakah saya dapat bertemu kembali dengannya?Tak seorang pun tahu dimana dia. Konon ia telah pulang ke kampung halamannya yang abadi, menghadap sang khalik. Saya
teringat akan ucapannya “memberi lebih mulia daripada diberi”. Saya merasa ada utang yang belum terbayar kepadanya.

Tiba tiba saya merasa jatuh `cinta’ padanya. Cinta sebagai sesama mahluk Tuhan, cinta pada nasibnya, seperti cinta Tuhan pada hamba- Nya, seperti cinta hamba pada Tuhannya dan cinta pada seluruh derita hidup yang telah menderanya. Saat mau pulang dari masdjid malam ini saya memasukkan sesuatu dalam kotak amal dengan niat agar Tuhan menerimanya sebagai amal buat Upiak dan berdoa semoga Tuhan memberinya kasih sayang yang berlimpah. Saya percaya Tuhan telah menyiapkan sebuah tempat yang indah untuknya. Walahualam….

Elza Peldi Taher
Ditulis untuk sahabtku di kala kecil, upiak angguak angguak..

Toga Hakim dan Kotak Amal: Hakim yang Tunduk pada Kata Hati



Diambil dari buku Manusia Gerobak, karya Elza Peldi Taher. Buku itu kini best-seller di Gramedia.


/1/

Majelis meja hijau,
Tanggal tigabelas bulan tiga tahun nol-tiga
Aku sedikit tercenung
Di hadapanku, pagi itu
Tiga kerat singkong
dan seorang nenek tua di kursi pesakitan
Kata si nenek tua:
Satu kerat buat anak yang sakit
Satu kerat buat cucu yang lapar
Satu kerat lagi,
“saya sudah tiga hari tidak makan”
Singkong bukan sembarang singkong
Singkong bermerek Tapioka Andalas
Milik seorang petinggi partai
berdalih memberi contoh
contoh penegakan hukum
”Lex dura sed tamen scripta
hukum itu kejam, kaku, dan keras1)
Ujar kaki tangan petinggi partai
kasus ini layak dibawa ke pengadilan
Jaksa pun tak kalah lugas
Bukan tiga kerat yang diembat
tapi singkong mukibat tiga ikat
Ibarat satu kilogram merica dibilang setengah ons2)
Maka, si nenek pantas dibui
kurungan seratus limapuluh hari
dan denda satu setengah juta rupiah
Aku harus mengetuk palu
Sembari memandang nenek di kursi pesakitan
“Saya tidak dapat membuat pengecualian hukum
hukum tetaplah hukum
nenek harus dihukum
Nenek dihukum denda satu juta rupiah
Bila nenek tidak mampu bayar
Nenek masuk bui duaratus hari
Atas nama meja hijau
Saya juga jatuhkan denda limapuluh ribu rupiah
pada tiap orang yang hadir di majelis ini
Karena, saudara-saudara sekalian
membiarkan nenek kelaparan”
Aku buka toga
Aku masukkan satu juta dari dompetku
“Saudara panitera, tolong bawa keliling
toga saya kepada semua yang hadir di sini
Serahkan kumpulan denda buat nenek”
Aku ketuk palu tiga kali
Penuh gerutu
Hadirin majelis satu per satu
Tidak terkecuali manajer Tapioka Andalas
yang tersipu malu
jatuhkan kertas nominal limapuluh ribu
Togaku pun penuh kertas nominal
Terhitung dua juta limaratus ribu rupiah
Nenek tua itu langsung bayar denda
Lalu pulang
bawa senyum buat anak dan cucu


/2/

Majelis meja hijau
Tanggal tigabelas bulan tiga tahun nol-lima
Aku sedikit dibuat jengah
Di hadapanku, pagi menjelang siang itu
Dua pasang sandal jepit harga ratusan ribu
dan seorang kakek di kursi terdakwa
Tutur si kakek tua:
”Limabelas tahun sudah
Saya menyiangi rumput
pada keluarga pengusaha permata
Terkadang
Ketika penagih utang datang
Saya mesti berbohong
‘maaf ibu sedang memburu barang antik’
Waktu dua cucu saya minta sandal
Ibu memberi dua pasang sandal
Satu model buaya satu lagi model dinosaurus
Waktu pesta diskon di mal
Satu pasang dibanderol tigaratus ribu”
Jaksa pun berujar:
Suatu malam yang gulita
Kakek pulang ke rumah kontrakannya
Majikan mencari-cari
Minta ditemani
Di tengah sunyi sendiri
Kakek tidak kunjung datang
Majikan menyusul dalam kesal
Melihat sandal buaya dan sandal dinosaurus
‘Kek, ini kan sandal anak saya
Di mana segenggam berlian,
sekantong sop buntut dan sebotol obat kumur’
Maka kakek layak dibui
kurungan seratus delapanpuluh hari
dan denda satu juta rupiah
Aku harus mengetuk palu
Sambil memandang kakek yang terus menunduk
Kataku jelas:
Memperhatikan pengakuan saksi
Dua pasang sandal apresiasi pengabdian
Atas nama meja hijau
Kakek bebas dari segala bentuk tuntutan hukum
Ongkos perkara duaribu limaratus rupiah
dibebankan kepada saksi pelapor
Jaksa langsung kasasi mahkamah yang agung
Minta kakek tetap dibui kurungan seratus delapanpuluh hari


/3/

Beberapa bulan berselang
Aku diangkat menjadi hakim yang agung
dan mahkamah yang agung tetapkan tiga hakim
tangani perkara kakek dan dua pasang sandal
Majelis kasasi lalu bersidang
Aku jadi ketua majelis mahkamah yang agung
Pendapatku:
“Kakek bebas dari segala tuntutan
dua pasang sandal itu pemberian majikan
Kasasi yang diajukan jaksa tidak dapat diterima
niet ontvankelijke verklaard
Pikiran kolegaku:
“Kakek bersalah mencuri
Segenggam berlian itu bukan milik kakek”
Benak kolegaku yang satu lagi:
“Kakek bersalah mengambil tanpa hak
obat kumur itu milik majikan.”
Majelis kasasi menjatuhkan vonis3)
Putusan pengadilan tingkat pertama batal
Kakek mesti hidup di bui seratus delapanpuluh hari
Kakek telah berpindah tinggal
Jauh dari rumah majikannya yang pengusaha permata
Bahkan, melintas batas kota
Menikmati hari tua
Bercengkerama bersama anak-cucu
Tiba-tiba
Datang sepucuk surat
Kop mahkamah yang agung
Mengabarkan kakek harus masuk bui
Sontak kakek rebah
Di pundak si cucu
Diam membisu
Raut wajah membiru
Pada akhir batas waktu


/4/

Majelis mahkamah yang agung
Tanggal 13 bulan tiga tahun nol-sembilan
Aku dan dua kolegaku
seonggok memori kasasi
atas putusan pencemaran nama baik
curahan hati lewat dunia maya
Pengadilan negeri putuskan salah
Enam bulan bui dengan percobaan
si pencurah hati yang kecewa
pada pelayanan rumah sakit
Aku yakin
Si pencurah hati tidak salah
Dia cuma curhat
pada batas komunitas dunia maya
Kolegaku yang ketua majelis
dan satu rekan anggota majelis berbeda
Si pencurah hati terbukti
cemarkan nama tenar rumah sakit
meski di komunitas terbatas
Majelis pun ketuk palu
Si pencurah hati
Mesti hidup di bui 200 hari
dengan 400 hari masa percobaan
Dengan gontai aku balik
pada rumahku yang mungil
di kaki bukit Ciragil
Isteri t’lah menanti
(kali ini) dalam tanda tanya
Selembar cek baru saja dia terima
bawah nama klinik ternama
“Ma, pulangkan saja pada yang punya”


/5/

Majelis mahkamah yang agung
Tanggal 13 bulan tiga tahun sepuluh
Kembali aku dan dua kolegaku
Seonggok memori peninjauan
Atas vonis 15 tahun penjara pembunuh artis
dengan lagak overdosis
Tidak salah lagi, pikirku
Racikan yang membuat kulit biru
Si artis memasuki batas waktu
Sang pembunuh lama meramu
15 tahun singkat terlalu
Seumur hidup lebih patut
Benak dua kolegaku anggota majelis
Si artis memang pengguna narkotik
ketergantungan yang merakut
senantiasa berlebih
mendekati bibir ajal
Sang pembunuh
Di waktu dan tempat
yang tidak tepat
Tak sepantasnya 15 tahun dibui
Majelis memutus
Cukuplah 8 tahun
Sang pembunuh di balik jeruji
Rasa keadilan terkoyak
Ingin rasanya berontak
Pada sistem yang retak
Nurani yang nihil watak
Ah, gelayut pesimis
Pulang saja ke rumahku yang mungil
di kaki bukit Ciragil
Isteriku kembali mengagetkan
Segepok amplop tunai
Lembaran-lembaran
“I Gusti Ngurah Rai”4)
Tiada alamat jelas
Aku berkerut kening
Haruskah tanya Ayu Tingting
Tercetus ide sinting
Masukkan amplop
dalam kotak amal
saat aku naik Kopaja
menuju zona merah kota
Tapi, aku teringat
Pada kata-kata bijak
“Barangsiapa memperoleh harta
dari jalan yang haram
lalu buat bersilaturrahim
disedekahkan
dinafkahkan di jalan Allah
semua itu akan terasa sia-sia
dibakar api neraka”5)
Aku batal ‘beramal’
pada kotak amal
takut bikin kumal
hati yang kamal
/6/
Majelis mahkamah yang agung
Tanggal 13 bulan tiga tahun sebelas
Kali ini kuhadapi onggokan berkas kasasi
Perkara yang menguras perhatian masyarakat
Perkara jaksa yang disuap
oleh kaki tangan konglomerat hitam
yang takut ditagih utang negara
Aku bersama empat kolega
Bersidang tiada jeda
Nuraniku bicara
Kaki tangan itu sungguh terlalu
Melanggengkan mafia peradilan
Membangkrutkan uang negara
Merusak ekonomi masyarakat
Tidak cukuplah lima tahun di bui
Sebelas tahun lebih cocok
Lagi-lagi empat kolegaku senada
Jaksa itu tak punya malu
Disuap kok ya mau
Membuka jalan sekongkol
Kaki tangan itu
cuma memasuki jalan terbuka
Tidak layak luma tahun di bui
Cukup empat tahun enam bulan6)
Vonis pun kembali tidak bulat
Pendapatku kalah suara
Suara dewa kaum hedonis
yang menghalalkan segala cara
sesebentar mungkin masuk penjara
Lekas aku berkemas
Bergegas dengan langkah lepas
Pulang ke rumah mungil
Di kaki bukit Ciragil
Baru kaki mau melemas
Satu amplop di sela bunga hias
Lembar-lembar dolar
Setara rupiah dalam miliar
Bawah nama kacau
Bikin pikiran risau
Kendati galau
Tekadku bulat
Bawa amplop dolar
dan secarik surat
“’Tuk menambal jalan abal-abal”
Aku susuri jalan-jalan strategis
Penuh lubang menganga
Kubangan kerbau saat hujan
Anak-anak muda
Seember kerikil dan puing
Menengadah topi lusuh
Menahun …
Aku jatuhkan amplop dolar
Aku ingin jalan itu mulus
Angkot-angkot melaju
Tiada lagi serapah penuh gerutu
Got7) di kanan-kiri jalan
lancar mengalir
tak lagi tumpah
melumat aspal
menggerus beton
Lega hatiku
Kembali ke rumah mungil
di kaki bukit Ciragil
Dalam kehangatan anak-isteri
tiada bara kayu bakar
tiada darah hitam pekat
———————–

1) Hukum yang bersifat memaksa dan tanpa kompromi terbukti sudah berlaku di bumi pertiwi Indonesia. Sistem ini memang pada dasarnya sebuah pembelajaran agar setiap orang mematuhinya. Sayangnya, hukum yang kejam, kaku dan keras tidak berlaku bagi pelaku kejahatan hak azasi manusia, bagi koruptor, bagi pelaku yang merendahkan moral dan martabat bangsa. Penjahat, pejabat dan penegak hukum telah berkolusi menjadi satu. Prinsip ini hanya berlaku buat Rasminah (56) yang dituduh mencuri enam buah piring, Rawi (66) yang didakwa mencuri satu ons merica, dan Samsu Alam yang dituding mencuri celana dalam wanita.

2)Gara-gara mengambil satu ons merica, Rawi (seorang kakek berusia 66 tahun) disidang di Pengadilan Negeri Sinjai, Suawesi Selatan. Tapi, barang bukti yang dibawa ke pengadilan adalah setengah kilogram merica. Supriyadi, salah seorang saksi, mengatakan dia disuruh polisi untuk menambahkan merica sampai jumlah yang layak barang bukti.

3)Vonis tidak bulat. Salah satu hakim mengajukan beda pendapat (dissenting opinion).

4)I Gusti Ngurah Rai, Pahlawan Nasional asal Bali. Gambar potretnya kini dipasang di uang kertas nominal lima puluh ribu rupiah.

5)Sebuah hadits ditulis oleh al-Qasim bin Mukhaimarah dalam bukunya Marasil. Kalimat sedikit dimodifikasi dalam bahasa puisi.

6)Dengan seribu kata maaf bila kalimat ini mirip dengan pendapat hakim agung Imam Haryadi saat menangani kasasi Kasus Artalyta Suryani yang mengurangi hukuman Artalyta Suryani alias Ayin dari 5 tahun menjadi 4 tahun 6 bulan penjara. Sementara pada peradilan tingkat pertama, Artalyta dihukum lima tahun penjara dan denda Rp250 juta karena terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar 660 ribu dollar AS. Menurut catatan hukum beberapa media massa, Imam Haryadi bergabung dengan anggota majelis hakim lain yang terdiri dari Djoko Sarwoko (ketua), Hatta Ali, Krisna Harahap dan Sofyan Martabaya.

7)Di Negeri Jiran Malaysia, dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, pemasukan yang haram (pajak judi, retribusi minuman keras, pajak babi) dan diragukan kehalalannya (hasil korupsi dan suap aparat, cukai rokok) dimasukkan ke rekening khusus dengan alokasi peruntukan tersendiri, antara lain untuk membangun got, tempat pembuangan sampah, tempat penampungan air limbah. dan infrastruktur yang kotor-kotor. Tidak digunakan untuk membayar gaji “kaki tangan kerajaan” (aparatur pemerintah/negara).