(Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Hidayatullah, Jakarta)
Kelebihan puisi adalah mampu mewadahi
dan mengekspresikan pahit-manisnya
realitas hidup dalam bahasa yang singkat, padat, namun memiliki kedalaman pesan
dan makna. Di situ berlangsung dialog imajiner antara penulis dan pembacanya
untuk sama-sama menangkap realitas yang dikemas yang kadangkala memang
gramatika verbal-formal tidak mampu mewadahinya. Dalam himpunan puisi
ini, Elza Peldi Taher menyajikan renungan kontemplatifnya terhadap sebagian
realitas sosial yang sangat menyentuh.
( Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan Muslim)
Membaca buku ini adalah seperti
membaca sesuatu yang terselip di sebuah celah. Di sela-sela narasi tentang
pertumbuhan ekonomi negeri kita yang cukup besar yang kerap kita dengar di
media massa, sekitar 6,5% per tahun, ada narasi lain yang terselip -- narasi
tentang orang-orang yang tak beruntung, yang susah, yang kelaparan, yang
miskin, yang tak terangkut dalam gerbong pertumbuhan ekonomi yang ingar-bingar
itu. Buku ini menyuguhkan narasi-terselip itu, narasi tentang kehidupan
orang-orang kecil yang pontang-panting bertahan hidup seperti Atmo, Rasmin,
Ivon, dan lain lain. Narasi mereka biasanya tak terekam dalam angka-angka resmi
BPS, indeks atau angka-angka agregat yang lain.
Tokoh-tokoh dalam buku Elza Peldi
Taher ini mungkin saja bukan tokoh nyata, melainkan rekaan dia sendiri. Tetapi
pengalaman mereka adalah pengalaman nyata yang bisa kita jumpai di kota-kota
Indonesia. Membaca pengalaman orang-orang yang "terkecualikan" ini
akan membuat kita peka kembali (resensitized) terhadap pengalaman riil
manusia sehari-hari.
(Djohan Fffendi, Pembaru islam, pejuang pluralisme )
Saya kaget membaca judul buku yang
berisi puisi-puisi: Manusia Gerobak. Apa yang Elza ungkapkan dalam buku ini
bukan sekedar karikatur tapi realitas yang berlangsung di sekeliling kita.
Kebetulan saya bersentuhan langsung dengan Manusia Gerobak. Di dekat tempatku
tinggal sekarang, di Jalan Senin Raya tinggal seorang Manusia Gerobak, seorang
kakek tua yang hidup sebatang kara seperti ia tulis di dinding gerobaknya.
Rupanya dia mengidap penyakit kusta
hingga terkucil dari lingkungan keluarganya. Dia hidup dari rezeki yang dia
peroleh dari Tuhan melalui tangan orang-orang yang baik hati dan mempunyai rasa
peduli terhadap sesama yang menderita. Anak manusia yang diselimuti
kesengsaraan seperti dialami Manusia Gerobak dalam beragam bentuk yang lain
masih banyak jumlahnya. Elza, melalui puisinya mengungkapkan realitas itu.
Selamat Elza!
(Nurul Agustina, aktivis Perempuan)
Puisi
esai Elza Peldi Taher mengawinkan kekuatan isi dan kecantikan arikulasi.
Menguliti lapisan terdalam problema kehidupan dengan pisau bahasa yang tajam.
Daya gugahnya melampui batas ruang dan waktu ( Yudi Latif, Cendekiawan)
Nasehat saya jelas: Jangan baca buku
ini, kalau tak ingin tidur nyenyak anda terganggu. Jangan pernah membacanya,
karena itu akan membuat anda terpaksa mengakui bahwa di luar sana
ketidakadilan, ketimpangan, dan kemiskinan yang mengajak pada kekufuran masih
bersimaharajalela. Sekali lagi, ini bukan buku pengantar tidur yang baik,
karena justru akan membangunkan anda dari mimpi-mimpi palsu ... Bravo, Bang
Elza!
(Nur Iman Subono, Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP UI )
"Membaca
serpihan-serpihan orang2 "kalah" dalam puisi esau Elza ini memang
terasa getir, pahit, sedih dan sekaligus empati pada diri pembacanya. Mereka
terasa nyata dan dekat dalam hidup kita yang lebih jauh beruntung dalam
bertarung dengan hidup. Mereka sudah mencobanya, dan "kalah" pada
akhirnya.
(Fatin Hamamah, penyair)
Tragis dan impresif. Realita kehidupan belantara
kota, orang orang yang terpinggirkan seperti berkaca di kali ciliwung rumit dan
pekat. Elza Peldi taher menulis dan mengemas dalam bahasa yang sederhana, mudah
di mengerti dan sangat menyentuh.
(Jamal D.Rahman)
Puisi
esai Elza Peldi Taher adalah suara keberpihakan pada kelompok sosial yang bukan
saja terpinggirkan, melainkan juga terbuang secara sosial, politik, ekonomi dan
budaya. Ya mereka adalah “ manusia gerobak”. Kehidupan terdiri dari sari dan
ampas, tapi hanya ampas kehidupan yang sampai ke gerobak mereka. Puisi esai
Elza Peldi Taher menangkap daya hidup mereka yang penuh daya juang di tengah
hanya ampas kehidupan yang mengisi gerobak hidup mereka. Dan dengan itu, ia
memberikan simpati sekaligus arti pada keberadaan mereka yang terbuang.
(Ery Seda, Dosen FISIP-UI)
Kemanusiaan yang rapuh, rentan, dan marginal
adalah keprihatinan utama dari kumpulan puisi Elza Peldi Taher. Tetapi kekuatan
besar di balik keprihatinan ini adalah justru di tengah kemanusiaan yang rapuh
itu bisa kita rasakan kekuatan, daya tahan, dan martabad manusia-manusia yang
secara nyata menghadapi hidup mereka dengan penuh kerelaan dan keikhlasan.
0 komentar: