Pengantar Manusia Gerobak

Mengapa saya Menulis Buku Manusia Gerobak
Terbitnya buku ini merupakan satu “hidayah” dalam hidup saya. Saya sebut “hidayah” karena menulis puisi tak ada dalam kamus hidup saya. Saya bukanlah penggemar puisi, tapi tiba tiba saja melahirkan sebuah karya puisi. Saya bukan penikmat  puisi, jarang membaca   atau menonton pertunjukan puisi apalagi menikmati puisi sebagai sesuatu yang mencerahkan yang kemudian membuat saya “jatuh cinta”  kepadanya.  Kepustakaan saya di rumah lebih banyak diisi oleh buku buku ilmu politik, sosial, teknologi atau buku buku keagamaan. Bacaan  yang berkaitan dengan sastra apalagi puisi sangatlah sedikit, bisa dihitung dengan jari.
Buku buku puisi yang menjadi legenda seperti Kahlil Gibran saya memang punya. Saya  membelinya karena seperti yang sering dikatakan banyak orang karya mereka bagus dan menyentuh hati. Tapi setelah membacanya hampir sebagian besar saya tidak mendapatkan sesuatu yang bermakna di dalamnya. Buku Kahlil Gibran  memang mempunyai keindahan dalam kata atau kalimat, tapi  tidak memberi pencerahan sebagaimana layaknya kita membaca sebuah buku. Beda dengan kalau saya membaca buku buku social atau keagamaan semacam karya Nurcholish Madjid, misalnya.  Tiap kali membacanya, saya selalu mendapat pencerahan. Akhirnya jadilah buku buku itu hanya menjadi “penghias’ perpustakaan saja.   
“Kecueakan” saya terhadap puisi sudah sejak lama, sejak menjadi mahasiswa. Tiap kali membaca puisi saya lebih banyak merasakan tidak mendapatkan “apa apa”, daripada mendapatkan “apa apa”,  padahal puisi yang saya baca itu dipuji bagus oleh banyak kalangan.  Seiring berjalannya waktu, puisi kemudian menjadi sesuatu yang sulit untuk dipahami dan di mengerti. Ada semacam pandangan dalam dunia perpuisian bahwa sebuah puisi semakin bagus bila semakin sedikit di mengerti oleh banyak orang dan sebuah puisi menjadi gagal bila makin dimengerti oleh banyak orang. Mereka yang mengerti itu adalah cukup para penyair saja. Mereka yang bukan penyair memang tidak akan mengerti makna yang terkandung di dalam puisi, karena puisi dibuat memang untuk tidak untuk di mengerti oleh mereka. Pembaca puisi, sama dengan jamaah pendengar  mubaligh yang berkhutbah di sebuah mimbar dalam bahasa Arab, yang cukup mendengarkan dengan takzim tanpa harus mengerti apa yang disampaikan.
Riset yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia tahun 2011 ( Denny JA, Jurnal sajak, nomor 3, halaman 69, )  menunjukkan betapa puisi menjadi sesuatu yang asing dalam masyarakat. Dalam riset itu ditemukan bahwa mereka yang tamat pendidikan tinggi sekalipun tidak mengerti dan tidak memahami puisi. Mereka yang pendidikannya menengah dan kebawah lebih sulit lagi memahaminya. Mereka menilai puisi terlalu njelimet. Jika bahasanya saja tidak di mengerti, mereka sulit  untuk tahu apa yang ingin disampaikan puisi itu. 
Pemahaman dan apresiasi  pada puisi, mungkin sama dengan apa  yang dituliskan oleh Jon Barr, pemimpin Foundation of Poetry. Judul tulisannya menarik; American Poetry in New  Century. Menurut Jon Barr, puisi semakin sulit dipahami. Penulisan puisi juga makin stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa makin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Karena itu Jon Barr merindukan puisi yang menjadi magnet dibicarakan, dihargai masyarakat dan memotret persoalan zamannya.
******
Pada sekitar bulan Mei 2012, Denny J.A, seorang konsultan politik kondang,  meluncurkan sebuah buku kecil. Bukan seperti biasanya, buku berisi artikel-artikel, melainkan sebuah kumpulan puisi. Dia menamakan buku berukuran seperempat halaman folio itu sebagai “Puisi Esai”. Sebuah buku berwarna merah dengan gambar burung merpati dengan kalung berbentuk hati (cinta) dan kaki yang terkunci gembok. Pada judul buku itu tertera “Atas Nama Cinta”, judul kecil di bawahnya, “Sebuah Puisi Esai”. Beberapa kalimat menyertai di bawah judul besar dan kecil itu, “Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati”. Dan satu lagi—ini mungkin paling penting—tertera tulisan “Genre Baru Sastra Indonesia” di halaman cover buku itu. Beberapa nama kondang memberi  pengantar buku itu seperti Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia Sapardi Djoko Damono, penyair Sutardji Colzoum Bachri, dan intelektual Ignas Kleden.
Melalui buku itu, Denny J.A. mempopulerkan sebuah istilah baru: Puisi Esai. Tak hanya dalam bentuk buku, dalam waktu tak lama berselang, Denny J.A. juga membuat sebuah website khusus tentang “Puisi Esai”, yaitu puisi-esai.com. Isi situs ini tak jauh berbeda dengan buku mungil Puisi Esai. Bisa dikatakan, website itu adalah bentuk (penjelmaan) buku yang dituangkan dalam dunia maya. Dalam website itu, kita juga bisa mendapatkan “Puisi Esai” serta kata pengantarnya.
Berbeda dengan buku, di website, Puisi Esai Denny J.A diperkaya dengan tampilan-tampilan seperti video, pembacaan puisi yang direkam dalam klip video dan berbagai ilustrasi lainnya. Mereka yang masuk ke website ini bisa ikut memberikan komentar atas lima puisi esai karya Denny J.A. Saat kata pengantar ini ditulis, record hit website itu sudah mencapai 7,5  juta lebih. Artinya, sebanyak tujuh setengah juta orang telah meng-klik situs ini. Suatu pencapaian yang luar biasa. Mungkin saja ada satu orang yang meng-klik beberapa kali situs ini.
Jumlah pengunjung situs yang sangat besar itu memperlihatkan bahwa puisi esai paling tidak sudah diminati oleh publik luas. Respons dari masyarakat, tak hanya para sastrawan dan penyair, cukup positif. Tengok saja komentar-komentar terhadap puisi-puisi esai karya Denny J.A. yang ditulis para pembaca seperti dilihat dalam situs itu. Komentar sangat positif, bahkan banyak di antaranya yang sangat tersentuh dengan puisi-puisi esai itu. Benar, kalau dikatakan, seperti sudah disebut, pusi esai karya Denny J.A. itu telah “menggetarkan hati”.
Bahkan, untuk lebih mempopulerkan puisi esai, Denny J.A. melalui situs itu menggelar beberapa lomba. Sebut saja, lomba menulis review, lomba lukisan, lomba penulisan. Semua lomba terkait dengan puisi esai. Antusiasme masyarakat juga terlihat dari para peserta lomba-lomba itu. Dengan kata lain, sambutan masyarakat termasuk para pencinta sastra khususnya, terhadap puisi esai ini luar biasa.
Denny J.A. menyebut puisi esai itu sebagai sebuah genre baru sastra Indonesia.. “Kebutuhan ekspresi kisah ini membuat saya memakai sebuah medium yang tak lazim. Saya menamakannya “Puisi Esai”. Ia bukan esai dalam format biasa seperti kolom, editorial atau paper ilmiah. Namun, ia bukan juga puisi panjang atau prosa liris,” tulis Denny J.A. dalam kata pengantar buku puisi esai,  “Atas Nama Cinta” .
Sebagai proklamator puisi esai,  Denny JA lalu membuat platform puisi esai. Pertama, Puisi esai mengeksplorasi sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Kedua, Puisi esai menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua perangkat bahasa seperti metafora, analogi dan sebagainya justru bagus untuk dipilih. Namun diupayakan mereka yang berpendidikan menengah pun dapat memahami dengan cepat pesan yang hendak disampaikan dalam puisi.  Prinsip puisi esai, semakin sulit puisi dipahami publik luas, semakin buruk puisi sebagai medium komunikasi penyair dengan dunia luarnya. Ketiga, Puisi esai adalah fiksi. Boleh saja puisi esai memotret tokoh riel yang hidup dalam sejarah. Namun realitas itu diperkaya  dengan aneka tokoh fiktif dan dramatisasi. Yang dipentingkan dalam puisi esai adalah renungan dan kandungan moral yang disampaikan lewat kisah, bukan semata potret akurat sebuah sejarah. Keempat, Puisi esai tidak hanya lahir dari imajinasi penyair tapi hasil riset minimal realitas ocial. Ia merespon isu ocial yang sedang bergetar di sebuah komunitas, apapun itu. Kelima, puisi berbabak dan panjang. Dalam puisi esai, selayaknya tergambar dinamika karakter pelaku atau perubahan sebuah realitas social.  
Dari platform yang ditulisnya itu kita kemudian tahu bahwa Denny J.A. ingin mencari sebuah medium di mana dia bisa bercerita tentang sebuah problema secara sederhana, mudah dimengerti, dan mengena secara langsung. Dan tentunya, diungkapkan secara indah. Medium itulah disebutnya sebagai “Puisi Esai”. “Yaitu puisi yang bercita rasa esai. Atau esai tentang isu social yang puitik, atau disampaikan secara puitis. Ia bukan puisi yang lazim karena ada catatan kaki tentang data dan fakta di sana dan di sini serta panjang dan berbabak. Ia juga bukan esai yang lazim karena dituliskan dengan larik, puitik, dan lebih mengeksplor sisi batin,” tulis Denny.
Itu sebabnya, salah satu syarat utama sebuah puisi esai adalah tercantumnya catatan kaki—yang tak lazim untuk sebuah puisi. Catatan kaki, menurut Denny, menjadi sesuatu yang sentral. Beberapa ociala lain dari puisi esai itu di antaranya ada eksplorasi dari sisi batin dan human interest, dituangkan dalam larik dan bahasa puitik yang mudah dipahami, memotret konteks fakta ocial, dan menyentuh hati pembaca. Sebuah “Puisi Esai” dikatakan berhasil apabila bisa menyentuh atau menggetarkan hati dan membuat pembaca mafhum tentang sebuah isu sosial di dunia nyata.
Kali pertama saya membaca naskah itu, saya langsung jatuh cinta. Bahasanya enak dibaca, mudah dipahami, temanya menarik dan menggugah, sangat komunikatif dan menyentuh hati. Saya setuju bahwa puisi sebagai medium komunikasi untuk menyampaikan gagasan kepada publik memang harus komunikatif dan mudah dipahami jika ingin dikenal oleh khalayak luas. Jika puisi tak bisa dipahami maka puisi akan kehilangan makna.  Dan apa yang dituliskan Denny JA sangat memenuhi syarat untuk itu. Kalau seperti ini puisi dituliskan, saya yakin dunia penyair akan lebih diapresiasi publik luas.
********
Potret Kemiskinan
“Puisi Esai” yang hadir di hadapan pembaca saat ini, ingin mendekati harapan dan kriteria sebuah puisi esai yang dimaksud Denny JA itu. Ada lima puisi esai dalam buku ini. Semua tentang kemiskinan dan kelompok marginal: pemulung (manusia gerobak), pelacur kelas bawah, keluarga buruh, preman, dan  orang miskin di depan hukum. Saya memilih tema kemiskinan karena kemiskinan merupakan isu sosial di dunia nyata. Kemiskinan seperti sebuah lingkaran setan. Kemiskinan akan membuat manusia terhalang dari usaha-usaha peningkatan dirinya menuju kepada harkat dan martabad kemanusiaannya yang lebih tinggi.  
Kita ketahui penduduk miskin di Indonesia masih besar. Menurut catatan, jumlah penduduk miskin masih sekitar 13% atau sekitar 31 juta jiwa. Bukan cuma kemiskinan, tapi tingkat kesenjangan (indeks gini ratio) Indonesia juga tinggi. Kemiskinan yang besar dibarengi dengan kesenjangan sosial (ketimpangan antara si kaya dan miskin) yang sangat jomplang membawa akibat-akibat sosial terutama pada mereka yang masuk kelompok marjinal. Maka, muncul isu-isu di seputar kemiskinan dan kesenjangan sosial .
          Di kota kota besar seperti di Jakarta, nasib orang miskin jauh lebih mengenaskan daripada desa. Di desa orang miskin masih bisa bernafas karena nilai persaudaraan di antara sesama mereka masih kuat. Se miskin miskinnya mereka tidak akan kelaparan, karena akan dibantu oleh tetangga yang solider dengan mereka . Tapi di kota besar seperti Jakarta hidup terasa kejam bagi kaum miskin. Sikap individualis dan tak peduli pada sesama amat kuat. Bukan hanya itu. Kaum miskin  rentan di eksploitasi karena mereka tak berdaya. Hampir semua gelandangan atau pengemis di Jakarta di kuasai oleh mafia mafia yang mengeksploitasi mereka habis-habisan.
          Jika bertemu pengemis yang biasa mengemis di jalan jalan raya atau datang ke rumah hati saya mendua; apakah akan bersedekah kepada mereka yang itu artinya memperkaya mafia mafia itu atau tidak bersedekah sama sekali tapi hati dan jiwa ini tak tentram. Sejak beberapa tahun terakhir saya memutuskan tak memberi sedekah kepada pengemis di jalan raya atau yang datang ke rumah, apapun kondisi mereka, semata mata agar eksploitasi terhadap mereka tidak makin menjadi-jadi. Jika ingin berderma bisa dilakukan kapan saja dan di sekeliling kita pasti banyak sekali orang yang membutuhkannya.
Bagaimanapun kita tidak bisa menutup mata terhadap serangkaian persoalan memilukan yang menyayat hati menimpa kelompok marjinal ini. Di buku ini saya menuturkan kisah kisah menyayat hati itu, semuanya diangkat dari kisah nyata. Seseorang yang tak mampu lagi menanggung beban beban hidup karena kemiskinan dan penderitaan yang berlangsung lama akhirnya memilih jalan pintas mengakhiri hidup—bunuh diri (“Asih Bakar Diri”). Seorang perempuan yang terpaksa menjual kehormatan disinari temaram lampu jalanan untuk menghidupi bayinya dan harus kehilangan nyawa di tangan seorang preman (“Catatan Harian Ivon”). Seorang pemulung yang tak sanggup mengebumikan putrinya karena ketiadaan uang dan membawa jenasah putrinya kemana-mana (“Manusia Gerobak”).
Kisah  “Manusia Gerobak ”, yang menjadi judul buku ini, adalah kisah nyata, adalah tragedi kemanusiaan yang memilukan. Saya kira  sebagian kita masih mengingat kisah yang menggemparkan ini. Seorang anak meninggal di depan sang ayah, terbaring di dalam gerobak yang kotor, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Uang di saku sang bapak hanya beberapa lembar ribuan yang tak cukup untuk membeli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil.  Apalagi harus menyewa ambulans dan menguburkan jenasah anaknya dengan layak. Yang tersisa hanyalah sarung kucel untuk membungkus jenasah si kecil. Si bapak membawa jenasah anaknya kemana-mana dan seterusnya...
Kisah memilukan ini  tak hanya dapat liputan oleh media cetak dan televisi di dalam negeri, tapi juga di belahan dunia lain. Itulah tragedi kemanusiaan di depan mata kita. Menyayat hati dan membuat air mata berlinang. Tragedi kemanusiaan kelompok marjinal nan papa di tengah suasana hiruk pikuk hedonisme dan kemewahan sekelompok orang. Peristiwa tragis kaum papa yang diabaikan oleh Negara. Peristiwa itu menunjukkan masyarakat dan  pemerintah  memang tak lagi perduli dengan sesama. Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya bertanggungjawab untuk mengurus jenazah. Bahkan, bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, mengurus jenazah merupakan kewajiban bagi sesama muslim. Peristiwa yang merupakan sebuah tamparan bagi kemanusiaan bangsa Indonesia.
Kisah tentang pelacur, perdagangan manusia, agaknya sudah menjadi hal yang “biasa”. Kisah yang selalu berulang terjadi di banyak tempat sepanjang masa. Namun, tetap saja ada sisi-sisi yang menyentuh hati. Apabila mendengar dan membaca latar hidup dan perjuangannya menapaki kehidupan ini. Pusi esai “Catatan Harian Ivon” mengisahkan perjuangan seorang perempuan mengarungi lautan kehidupan yang ganas ini.  
Dalam kasus ini, terlahir dari keluarga miskin, seorang  perempuan tak mempunyai pilihan lain terjun menjadi wanita pekerja seksual. Dia harus pontang-panting mencari uang demi membiayai hidupnya dan bayinya. Tragis, karena hidupnya berakhir di tangan seorang preman. Dia pergi meninggalkan bayinya.
Kita juga tidak bisa menutup mata tentang kemiskinan yang menjadi penyebab maraknya pelacuran. Kemiskinan menjadi penyebab perempuan untuk mengadu nasib dan mempertaruhkan hidup mereka. Perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan, kelak, beberapa analisa menyebutkan perempuan malah berperan menjadi tulang punggung utama kehidupan keluarga. Perempuan menjadi kekuatan produktif yang mayoritas di sektor industri.
Kisah “Asih Bakar Diri” menuliskan pula tentang kisah seorang ibu yang memilih bunuh diri agar bisa lepas dari kemiskinan yang melilit hidupnya. Sang ibu bunuh diri bersama dua anak balitanya. Bunuh diri itu dilakukan dengan cara mengerikan, bakar diri. Sebelum mengakhiri hidupnya, sang ibu sempat menulis sebuah surat. Dalam surat itu ia meminta maaf kepada sang suami. Di surat terakhir itu, sang ibu mengungkapkan keputus-asa-annya dan tak tahan lagi menanggung kemiskinan hidup dan melihat penderitaan anak mereka.
Kisah “Catatan Harian Ivon” dan “Asih Bakar Diri” mengekspresikan sebuah gejala yang disebut sebagai feminisasi kemiskinan (feminization of poverty). Dalam konsep ini, kaum perempuan menjadi kelompok masyarakat yang harus menanggung beban terberat akibat kemiskinan. Dari berbagai penelitian di beberapa negara menyimpulkan bahwa kaum perempuan menjadi kelompok paling terkena dan terpukul karena beban berat akibat krisis.
Persentase kemiskinan yang saat ini masih besar di negeri ini lebih banyak diderita kaum perempuan. Karena itu, dalam konteks ini, kaum perempuan perlu didudukkan pada porsinya yang sesuai, adil, dan demokratis. Tetapi, kenyataannya, masalah perempuan dan kemiskinan seringkali disikapi secara biasa Tengok saja, tidak ada program (pemerintah) yang secara konkrit dan terfokus membongkar akar kemiskinan khususnya dampak kemiskinan pada perempuan.
Semua kisah dalam puisi esai ini menggambarkan tragedi kemanusiaan kelompok marjinal. Ironis, tragedi kemanusiaan itu terjadi sebuah negeri yang kaya dengan limpahan sumber daya alam. Tragedi kemanusiaan itu berlangsung di tengah-tengah bersliwerannya mobil-mobil mewah keluaran terbaru, orang-orang kaya yang hidup bermewah-mewah.          
Lebih jauh lagi, tragedi kemanusiaan terjadi di saat para penyelenggara negara, anggota dewan, anggota DPRD, beramai-ramai menguras uang rakyat lewat korupsi berjamaah. Lebih mengejutkan lagi, para anggota dewan di Senayan tak menghiraukan tragedi kemanusiaan kelompok marjinal ini. Mereka disibukkan dengan kepentingan kelompok (partai) untuk mencari kekuasaan di samping memupuk kekayaan. Tragedi manusia gerobak, Asih, dan Ivon, terjadi di tengah bobroknya aparat hukum (polisi, jaksa, hakim) yang seharusnya memberantas korupsi tetapi lembaganya malah terlibat kasus korupsi serta merebaknya mafia-mafia kasus dan mafia peradilan yang memperjual-belikan hukum dan keadilan.
Fenomena-fenomena seperti itu membuat masyarakat lapisan bawah terasa getir. Indonesia adalah sebuah negara paradoks. Kekayaan alamnya melimpah tetapi rakyatnya masih terlilit kemiskinan. Segelintir orang hidup bermewah-mewah berdampingan dengan orang yang sulit mencari nafkah sehari-hari. Kegetiran hidup kalangan bawah akan terakumulasi. Selanjutnya, mereka menjadi apatis dan terjadilah frustasi sosial. Pada orang-orang tertentu, rasa frustasi itu dilampiaskan dengan cara bunuh diri. Sementara pada orang-orang lainnya, frustasi sosial diekspresikan dalam bentuk kemarahan publik yang berujung pada tindakan anarki dan destruktif.
Kita tidak akan membahas lebih jauh kemiskinan dan kepapa-an masyarakat lapisan bawah itu termasuk apakah kemiskinan itu akibat struktural atau budaya. Dampaknya sudah jelas dialami masyarakat. Namun, sangat disayangkan, peran negara sangat minim. Negara semestinya bisa berperan dalam kebijakan sosial dan memberi pelayanan sosial. Di Indonesia, sudah tak terhitung orang miskin yang menjadi korban hingga meninggal atau bunuh diri. Kasus-kasus seperti itu seolah tak menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara. Di tengah tragedi kemanusiaan yang memilukan, para penyelenggara negara malah berebut harta dan pamer kekayaan.
Ironinya, rendahnya kepedulian pada kaum papa justru terjadi di tengah apa yang disebut kebangkitan agama khususnya Islam di tanah air. Masdjid dan tempat tempat ibadah berdiri dimana-mana, umat Islam rela antri bertahun tahun untuk dapat naik haji meski biaya naik haji sangatlah mahal  dan pelayanan pemerintah sangat buruk. Pada saat Idhul Qurban, orang orang perkotaan bahkan kesulitan menyalurkan hewan qurbannya karena karena banyaknya orang yang berkurban. Tapi kebangkitan agama itu, jika itu mau disebut sebagai kebangkitan agama, berbanding terbalik dengan melemahnya komitmen mereka pada kaum miskin, padahal agama memperingatkan bahwa harta kekayaan adalah “fitnah” atau percobaan dari Tuhan kepada kita. Janganlah kita biarkan diri kita terbuai, terpukau, dan terkecoh oleh keberhasilan lahiriah dan mengabaikan sesuatu dalam kehidupan ini yang lebih tinggi nilainya.  
Dalam kitab suci disebutkan adanya hak kaum miskin atas harta orang orang kaya di luar zakat. Kitab suci memerintahkan “ dan berikanlah kepada anggota kerabat itu haknya, juga kepada orang miskin dan yang (terlantar) dalam perjalanan, dan janganlah engkau melakukan pemborosan (QS. al-Isra/17:26). Masih tentang hak kaum miskin Allah berfirman “Tahukah Engkau (hai Muhammad) siapa dia yang mendustakan agama? Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin. Maka celakalah bagi mereka yang melakukan salat, yaitu mereka yang lupa salat mereka. Yaitu mereka yang suka pamrih, dan enggan memberi pertolongan” (QS. al-Maun/107:1-7).
Genre Baru Puisi Esai
Kembali ke awal kata pengantar ini, Denny J.A. tidak terlalu memusingkan apakah puisi  esai akan menjadi sebuah genre baru sastra Indonesia. Tetapi, Denny senang apabila medium seperti puisi esai ini banyak digunakan sebagai alternatif dalam menyampaikan pergulatan sisi batin individu dalam sebuah problematika sosial. “Sebuah genre baru di dunia seni atau paradigm di dunia pemikiran hanya ditentukan oleh satu hukum sosial saja. Yaitu apakah hal baru itu diterima oleh sebuah komunitas? Itu cukup dengan melihat banyaknya pengikut atau pengarang yang mengulangi medium atau ekspresi baru itu,” tulisnya.
Buku ini paling tidak menjadi followers seperti disebutkan Denny di atas. Saya sendiri memang bukanlah seorang penyair. Dan sepertinya, saya pun tidak berpretensi menjadi seorang penyair. Tapi, mudah-mudahan, buku ini bisa mengungkapkan kisah pergulatan batin dalam sebuah problem sosial lewat puisi esai.   
Sebelum menutup pengantar ini, saya ingin menyampaikan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada banyak kawan kawan yang telah membantu terbitnya buku ini. Pertama-tama tentu saya  ingin mengucapkan terima kasih kepada Denny JA yang telah mendorong saya menulis dan menerbitkan buku ini. Kedua kepada bapak D. Zawawi Imron yang telah berkenan memberi kata pengantar yang amat panjang dan menyentuh. Adalah suatu kehormatan besar bagi saya bahwa penyair terkenal seperti D. Zawawi Imron  mau dan bersedia menulis kata pengantar untuk seseorang yang sama sekali tidak dikenal dalam dunia sastra.
Terima tak terhingga juga saya sampaikan kepada kawan kawan yang memberi erdorsement terhadap buku ini; Ulil Abshar Abdalla, Komaruddin Hidayat, Fatin Hamamah, Ery Seda, Yudi Latif, Nur Iman Subono, Nurul Agustina, Jamal D. Rahman dan bapak Djohan Effendi, pada siapa saya  belajar agama di masa masa awal kemahasiswaan.
Kawan kawan lain di Ciputat School: Zuhairi Misrawi, Ihsan Ali Fauzi, Ahmad Gaus, Jonminofri Nazir, Novriantoni Kahar, Anic HT, Neng Dara Affiah, Jojo Rahardjo, Chaider S. Bamualim, Aceng Husni, Nur Iman Subono, Ali Munhanif, Buddy Munawar-Rachman dan banyak lagi  juga banyak memberi masukan demi kesempurnaan buku ini. Meski “kejam” dalam memberi masukan, kadang kelewat ‘kejam”,   secara langsung atau tidak langsung, mereka ikut memberi masukan lewat diskusi-diskusi di tempat kami yang indah, Futsalcamp, Ciputat.
          Juga pada kawan kawan di Jurnal sajak yang banyak membantu penerbitan buku ini. Mereka adalah Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Berthold Damshauser, Tugas Suprianto dan Jamal D. Rahman. Terima kasih juga pada staf saya Adji Kundalini dan penerbit Komodo Books yang bersedia menerbitkan buku ini.
Akhirnya, buku ini aku persembahkan untuk orang yang aku cintai dalam hidup ini: Ismayanti Sudjarwo, ibu dari anak anakku yang menekuni karirnya sebagai pegawai negeri di Departemen Kelautan dan Perikanan, putra kesayanganku, Ikra Zama Dinnata, yang memulai dunia baru sebagai mahasiswa ilmu Komunikasi di Universitas Paramadina dan Hanifa Zama Dinnata, putri kesayanganku yang tahun ini menamatkan studinya di SMP 4 Pamulang. Mereka semua adalah orang yang selalu menyinari hidupku, dengan cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas.  
Pada akhirnya, tidak ada gading yang tak retak. Segala kesalahan adalah milik manusia, dan kebenaran hanyalah milik Tuhan. Semoga buku puisi esai ini bisa bermanfaat.
Pondok Cabe, Lereng Indah, 25 Desember 2012
Elza Peldi Taher
Email:       elzataher@yahoo.com
Facebook: elzataher
Twitter:     @elzataher
                  @motivasiilmu
                  @Twetbijak
                  @Kamu_perlutahu
Tentang Penulis
Elza Peldi Taher, lahir di Muara Labuh, 18 Desember 1962. Saat ini sebagai pekerja social. Menempuh studi di FISIP UI dan IKIP Jakarta, 1982. Pada tahun 1983-1988 bersama beberapa teman mendirikan Kelompok Studi Proklamasi. Lalu, pada tahun 1988 mendirikan Lembaga Kajian Masyarakat Indonesia. Pada tahun 1996, bersama Komaruddin Hidayat dan Nurcholish Madjid mendirikan SMU Madania. Menjadi penulis dan editor beberapa buku antara lain menulis buku 70 Tahun Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Hukum Islam (Paramadina, 1993, Mahasiswa dalam sorotan, Indonesia dan masalah masalah Pembangunan, Agama dan kekerasan, ( Kelompok Studi Proklamasi, 1984) editor buku Pintu puntu Menuju Tuhan, Nurcholish Madjid,( Paramadina, 1994). Demokrasi dan Proses Demokratisasi Indonesia ( Paramadina, 1993). Soen’an Hadi Poernomo, Birokrat Unik, ( LKMI, 2011). Aktif menulis di berbagai media antara lain Kompas, Media Indonesia, Panjimas, Matra, Femina, Republika. Kini menjadi General Manager pada PT Duo Rajawali Proraga, FutsalCamp, Ciputat. 

apa kata mereka tentang puisiku? bisa di lihat disini


manusia gerobak vs pasal 34 UUD 1945




1 komentar: