“Esai puisi” atau “puisi esai” memang
istilah baru di negeri kita. Istilah itu menjadi nyata dengan munculnya buku
“Atas Nama Cinta” karangan Denny JA. Buku itu berisi kisah yang menggabungkan
cara penulisan puisi yang dipadu dengan esei. Setelah diperhatikan, untuk
disebut cerpen tidak bisa karena susunan dan penggalan kalimatnya berbentuk
puisi. Unsur esainya juga jelas ada karena ada sejenis kajian terhadap masalah.
Yang menarik,
puisi esai tersebut ditulis oleh orang yang selama ini tidak terkenal sebagai
sastrawan. Denny JA lebih terkenal sabagai intelektual, aktivis, pemerhati
masalah sosial politik dan kolumnis. Tapi apa yang ia perbuat dengan bukunya
itu agaknya sudah bisa dimasukkan sebagai karya sastra, karena Sapardi Djoko
Damono berkenan memberi pengantar terhadap buku itu. Dengan demikian istilah
“puisi esei” bisa diterima menjadi keluarga baru dalam rumah kesusastraan
Indonesia.
Agus R Sarjono
dalam tulisannya berjudul “Puisi Esai, Sebuah Kemungkinan Sebuah Tantangan”,
mengulas secara panjang lebar, yang pada intinya memberi kesempatan kreatif
untuk menemukan pembaruan-pembaruan tak terduga dalam pengembangan sastra. Tapi
setiap upaya kreatif yang berupa hasil ekprimen itu akan mengalami ujian berat.
Daya ungkap dan pendalaman pengarang terhadap subyek mater karangannya yang
total, akan memberi kemungkinan karya itu akan mendapat apresiasi dari kalangan
luas atau bisa mungkin sebuah karya dengan bentuknya yang baru bisa ditolak
oleh masyarakat sastra pada zamannya, meskipun dalam rentang waktu baik singkat
maupun lama ada kemungkinan bisa diterima publik sastra dengan
pengalaman-pengalaman baru. Ditolaknya karya itu pada waktu pertama kali terbit
karena persiapan daya apresiatif masyarakat sastra pada waktu itu belum bisa
menerima karena pikiran-pikiran dan gagasan pengarangnya yang mendahului
zamannya. Dan ada kemungkinan ditolak karena karya itu memang tidak bermutu.
Tapi
beruntunglah kehadiran puisi esei ini yang seperti mulus meluncur dalam
perjalanan perkembangan sastra. Kajian-kajian berikutnya terhadap puisi
esai diharap akan terus berkembang baik di media, maupun dalam penulisan
skripsi, tesis dan kajian ilmiah lainnya.
Kehidupan
manusia di dunia ini memang membutuhkan keindahan. Rasa keindahanlah yang
membuat hidup ini tidak kering. Bahasa yang dipakai manusia sehari-hari juga
memerlukan susunan kalimat yang indah. Penghayatan terhadap keindahan
dengan daya kreatifnya, akan melahirkan karya seni. Seorang yang tersentuh
irama suara air terjun yang jatuh dari bukit ke dalam ngarai yang curam,
kemudian digubahnya sebuah lagu. Suara air terjun bernyanyi dan berdzikir,
merupakan tanda keperkasaan Tuhan Rabbul ‘Alamin. Menurut Iqbal, ekspresi seni
bukan sekedar meniru alam, Sang Seniman harus berupaya untuk memberi ruh bagi
ciptaannya, menurut cita rasanya yang terdalam. Seni yang hanya meniru alam,
tanpa upaya memberinya ruh belum sempurna dan matang. Nilai-nilai keindahan
yang ditangkap dari alam tak lain sebagai fakta spiritual.
Sebagai fakta
spiritual, keindahan itu bebas berkembang di dalam diri Si Seniman. Karena
keindahan itu diyakini sebagai cermin yang memantulkan sebagian keindahan
Ilahi, Si Seniman tahu ke mana ia harus bersujud sehingga yang dihasilkan tetap
mencerminkan nilai akhlakul karimah. Untuk itu keramahan dan persahabatan
dengan alam perlu menjadi visi dalam kehidupan. Kemajuan yang bagaimana pun
canggihnya, sebenarnya tidak boleh lepas dari alam.Persahabatan dengan
alam dan manusia yang lahir dalam bentuk susunan bahasa atau dalam sajian yang
menikmatkan, di situlah sastra muncul sebagai tanda kepedulian manusia terhadap
hidup.
Dalam buku
“Atas Nama Cinta” Deny JA banyak mengungkap isu-isu kemanusiaan yang berkaitan
dengan sikap intoleransi terhadap perbedaan, ras, agama dan lain-lain. Kemudian
muncul lagi buku puisi essi yang ditulis Ahmad Gaus. Saat ini disusul pula
dengan puisi esai “Manusia Gerobak” karangan Elza Peldi Taher, yang temanya
bercerita tentang orang-orang miskin. Yang menarik pada buku Elza ini ialah
temanya yang tetap diambil dari berita-berita di media massa, baik di koran
maupun di televisi. Ambillah “Manusia Gerobak” misalnya, yang bercerita tentang
kejadian seorang miskin yang anaknya meninggal dan tak mendapatkan tanah untuk
mengubur mayat anak itu. Si miskin mendorong gerobak yang berisi mayat anaknya
itu benar-benar terjadi dan saya pernah baca di surat kabar.
Sebagai
berita, kenyataan itu memang telah diketahui orang banyak. Orang boleh mengusap
dada atau terharu. Tapi mungkin keterharuan itu berlangsung sebentar. Begitu
surat kabar yang memuat berita itu sudah dijadikan kertas pembungkus kacang
atau pembungkus barang lainnya, berita mayat dalam gerobak dorong itu sudah
mengendap ditimbun oleh berita-berita lain yang tidak kalah menarik dan
mengharukan.
Nah, rasa
simpati dan empati Elza terhadap mayat dalam gerobak itu ternyata bergaung lama
dan tak kunjung menghilang dari ingatannya. Ada semacam tanggungjawab untuk
mengabadikannya. Peristiwa yang memerihkan jiwa itu harus dicatat dan diberi
tempat. Lalu ditulisnya dalam bentuk puisi esei. Kalau peristiwa itu ditulis
dalam puisi bisa bernasib seperti sebuah poci yang disebut Goenawan Mohamad, “Sesuatu
yang kelak retak dan kita yang membikinnya abadi”. Dalam puisi esei
Elza, mayat dalam gerobak itu akan abadi. Duka kemanusiaan akibat dianaktirikan
oleh pembangunan dan peradaban itu menjadi catatan yang tidak bisa dihapus oleh
sejarah.
Dalam karya
yang berangkat dari peristiwa nyata seperti itu, sampai sejauh mana imajinasi
penulis ikut berperan? Barangkali sudah seperti adonan tepung, air, dan gula
pada roti, mungkin sudah menyatu dan sulit dipisahkan. Yang penting ide yang
ingin disampaikan penulis bisa sampai tak sekedar sebagai informasi, tapi ada
larutan vibrasi yang ikut memberikan warna, sehingga terjadi komunikasi yang
lebih menyentuh.
Puisi atau
sastra memang pergelutan masuk ke dalam masalah kemanusiaan yang mendalam. Ia
bisa menjadi daya ungkap yang lezat, otentik dan partikular, justru karena
partikular itu pembaca menemukan sisi lain yang baru dan segar.
Penulisnnya ingin menularkan hasil penghayatan dan empatinya terhadap
kemelaratan kepada orang lain. Tugas seperti itu dirasakannya sebagai tugas
kemanusiaan. Coba kita perhatikan lukisan keluarga “Manusia Gerobak” yang
terlunta di tengah keganasan kota Jakarta,
Istri dan dua anaknya dibawa kerja
Dengan gerobak sebagai rumahiv
Saat kantuk menggayut, gerobak menjadi
tempat tidur
Beratap langit luas
Kala siang terik menyengat
Kala hujan menetes air di perlindungan
Kala malam kedinginan
Mandi kalau ada air
Makan kalau dapat uang
Setiap hari Atmo mengela gerobak
Sesekali berhenti ketika lelah
menghampiri
Sambil memulung
Mengumpulkan barang bekas
Gerobaknya penuh tumpukan kardus
Ditaruh dekat dua anaknya
Atmo di depan menghela gerobak
Istri di belakang sambil mengawasi
Berjalan beriringan di tengah deru
kendaraan
Pagi
Siang
Malam
Di sini ada hal pokok yang ingin
dikemukakan Elza, yaitu kesenjangan sosial yang membiarkan kemiskinan untuk
terus berkelanjutan akibat pendangkalan rohani dan pandangan hidup egois
orang-orang yang hanya ingin senang sendiri dan menutup rasa kasih bagi orang lain.
Ketimpangan sosial yang berakar dari ketimpangan rohani seperti itu sangat
mengganggu rasa kemanusiaan Elza.
Elza termasuk
orang yang selalu mengaitkan rasa sosial dan rasa keagamaan. Kecintaan kepada
Allah harus berujud kecintaan kepada sesama manusia. Seyogyanya fitrah dan iman
itu harus menjadi energi positif untuk melanjutkan “belas kasih” Allah kepada
sesama manusia, terutama bagi manusia yang sedang bersedih dalam jurang
penderitaan. Imanlah yang harus menjadi dinamo penggerak untuk melakukan tindakan
nyata untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Itulah iman yang aktif yang
selalu berorintasi pada kebaikan dan manfaat.
Dalam
Al-Qur’an, orang yang tak peduli kepada nasib anak yatim dan fakir miskin itu
disebut sebagai “pendusta agama” (Surat Al-Ma’un). Akan semakin tampak bahwa
ketidakpedulian kepada orang miskin itu sebagai sebuah kejahatan kalau kita
memperhatikan sabda Ali Ibnu Abi Thalib, Fama ja’a faqirun illa
bituhkmati qhaniyyin, tidak lapar orang miskin kecuali karena
serakahnya orang kaya. Memperhatikan kalimat yang diucapkan Ali di atas, kalau
dipikir, sebenarnya rezeki dari Tuhan untuk umat manusia itu cukup. Kenapa ada
orang miskin ? Karena ada orang kaya yang rakus, yang hanya mau kenyang dan
senang sendiri.
Pikiran
seperti itulah yang meresahkan Elza sehingga ia menulis puisi “Manusia Gerobak”
dan 4 puisi esai lainnya. Persoalan kemiskinan seperti itu memang bukan
persoalan sastra tapi Elza merasa persoalan itu bisa menjadi intensif diungkap
dengan media sastra. Rasa sedih, terharu, gembira dan lain-lain diyakini merasa
cocok dibahasakan dalam bahasa yang berbentuk “puisi esei”.
Bahwa Elza
tidak selalu larut lama dalam kesedihan, bisa diperhatikan pada bagian akhir
dari puisi esei “Manusia Gerobak” ini. Tidak semua orang di negeri ini yang
tidak peduli terhadap kemiskinan dan penderitaan. Orang yang baik meskipun
miskin masih banyak.
Terbukti di
tengah masyarakat yang kekurangan itu, kita menemukan jiwa penolong yang
terdapat pada orang-orang miskin yang hidupnya sangat sederhana. Jenazah anak
yang ada dalam gerobak itu akhirnya dikuburkan oleh orang-orang miskin yang
berhati emas. Kita nikmati baris-baris terakhir “Manusia Gerobak”.
Atmo menceritakan keluh kesah pada ibu
Sri
Membawa jasad putrinya kemana-mana
Ibu Sri tak tahan mengurai air mata
Mendengar derita Atmo membawa jenazah
Karena tak berpunya
Cerita tersebar ke tetangga
Sesama orang miskin
Tapi mereka peduli
Bukanlah mengurus jenazah menjadi
kewajiban orang Islamv
Mereka mengurus jenazah putrid Atmo
Dimandikan
Dikafankan
Dishalatkan
Diurus pemakamannya
Disiapkan bunga-bunga nan semerbak
Dibawa beramai-ramai
Sesama orang miskin
Mengiringi Atmo
Ke tanah perkuburan
Hari hampir gelap
Jenazah dikebumikan
Terdengar adzan dari liang kubur
Bagitu indah nan syahdu
Adzan ketika sosok manusia dilahirkan
Adzan ketika sudah berselimut kain kafan
Adzan mengingatkan orang akan mati
Terdengar iqomah
Seruan untuk mendirikan shalat
Segera menghadap Ilahi bersembahyag
Dengan ketulusan dan kepasrahan
Mendengar adzan dan iqomah mata Atmo
berair
Mayat kecil berkain kafan ditutup papan
Tanah-tanah berhamburan
Sampai membentuk gundukan
Ditancapkan nisan papan, “Mawar binti
Atmo”
Ditaburi kembang-kembang
Hari mulai gelap
Satu persatu pengiring meninggalkan
Atmo masih terpekur di kuburan
Berdoa dalam hati
Ditatapnya nisan kayu
Terdengar adzan magrib
Atmo bersyukur
Atmo yakin
Bunga surga telah tenang di alam sana…
Mengakhiri membaca “Manusia Gerobak” ini
saya jadi berfikir, sebenarnya Elza seperti mengingatkan bahwa di kalangan
masyarakat kelas bawah, yang namanya solidaritas masih berlangsung dengan baik,
jenazah dalam gerobak itu akhirnya dikubur dengan khidmad.
Sikap solider seperti itu sampai sekarang
masih menjadi nilai yang dilakukan banyak orang sampai ke pedesaan-pedesaan
terpencil. Suasana guyup, tolong menolong masih berlaku di kalangan para
petani, nelayan dan lain-lain, merekalah yang sebenarnya orang-orang yang masih
ikut memelihara kehidupan ini tanpa pengkhianatan kepada bangsa dan negara.
Sebagian besar orang-orang miskin itu masih merawat hatinya dengan baik tanpa
seujung rambut pun ingin merugikan tetangga dan orang lain.
Secara implisit Elza ingin memberi
gambaran tentang terpeliharanya nilai-nilai dengan munculnya rasa
kebersamaan dalam menyelesaikan tugas “fardu kifayah” terhadap anak mati yang
berada dalam gerobak itu.
Peristiwa penguburan itu diduga keras,
Elza tidak ikut menyaksikan acara itu. Kalau ia tidak ikut, dari mana ia
mendapat bahan untuk menuliskan gambaran yang detail itu.
Jawabnya tidak lain, dari imajinasi.
Jadi, bisa kita katakan, bahwa penguburan itu adalah fakta, tapi lukisan yang
lengkap yang penulisnya tidak ikut melakukannya - tidak lain adalah imajinsi.
Di sinilah imajinasi itu telah berjasa memberi lukisan yang lebih lengkap dari
sekedar fakta atau berita. Imajinasilah yang telah membantu peristiwa yang
hanya berupa berita kemudian menjadi sajian yang lebih hidup dan lebih bisa
dinikmati. Imajinasilah yang membuat kejadian yang hanya “duka berita” menjadi
“duka sastra”.
Seandainya mayat anak dalam gerobak itu
ditulis oleh 2 atau 3 orang yang berbeda, baik dalam pengembangan imajinasi,
maupn dalam cara bercerita dan dalam menyusun kalimat, kita akan menemukan 3
sajian yang berbeda. Tapi, inilah kisah yang disajikan oleh Elza Peldi Taher
dengan daya imajinasinya, lengkap dengan pilihan kata-kata dan cara
mengisahkannya.
4 cerita lain dalam esei ini ialah
tentang Asih yang melakukan aksi bakar diri bersama anak-anaknya karena putus
asa akibat tekanan ekonomi yang tidak teratasi. Hidup memang tidak untuk makan,
tapi kalau rejeki untuk mendapatkan makanan tak ada, sementara usaha untuk
mendapatkannya sudah dilakukan, tetapi terbentur pada atmosfer kehidupan yang
tidak menolong , akhirnya, Asih harus menyiramkan minnyak tanah kepada dirinya
dan anak-anaknya lalu menyalakannya dengan api yang kemudian berkobar.
Tak terbayangkan, gerakan macam apa yang
dilakukan oleh Asih dan anak-anaknya dalam kobaran api itu. Asih telah
mengakhiri hidupnya dan hidup anak-anaknya dengan neraka yang dibuatnya
sendiri. Penulis puisi esei ini seakan bertanya, manakah belas kasih sesama
manusia? Di manakah kemanusiaan yang adil dan beradab?
Puisi esei ini yang ketiga berjudul
“Catatan Harian Ivon”, yang menceritakan seorang gadis yang terjerumus ke
kehidupan malam. Ivon mengarungi hidupnya yang penuh duka dan menjual diri. Dari
hubungan dengan seorang laki-laki ia melahirkan seorang bayi. Kalau malam ia
menitipkan bayinya kepada tetangga. Lebih celaka lagi hampir tiap malam ia
menjadi korban aksi preman yang selalu minta uang. Akhirnya pada suatu
pagi mayat Ivon terkapar di tepi jalan.
Cerita ke lima berjudul “Zaka dan Tatto
Gajah”, yang berbeda dengan cerita-cerita orang miskin sebelumnya. Yaitu
tentang seorang perampok bernama Zaka yang menjalankan hidupnya dari perampokan
ke perampokan lainnya. Sedang sebagian hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada
orang miskin. Zaka adalah Robinhood akhir abad ke 20 yang kemudian menemukan
kedamaian dalam bertobat. Inilah baris-baris terakhir dari Zaka yang menemukan
pencerahan,
Jakarata, 1997
Zaka kembali menghirup udara bebas
Tekadnya telah bulat
Menjadi muslim yang utuh
Itu pula, titik mula
Ke rumah dai sejuta umat
Belajar membangun hubungan sesama manusia
Ke rumah raja dangdut
Belajar berdakwah sesuai irama
Ke pesantren Krapyak
Belajar manajemen pendidikan
Relasi dengan para kepala penjara
Dirajut dalam jejaring silaturrahim
Dan kini
Hari-hari Zaka dilewatka
Dari penjara ke penjara
Mengenalkan islam
sebagai jalan keluar dari persoalan
bukan sebatas dosa dan pahala
surga dan neraka
Mengajarkan jalan lurus
kumpulan noktah-noktah putih
bagai cericit burung-burung di langit
menjadikan tentara bergajah seperti
daun-daun terkuyah
Selintas alangkah mudahnya tobat dan
kembali ke jalan yang benar itu. Tapi di sini ada proses. Simbol gajah yang
merupakan gambar tattomengingatkan Zaka pada raja Abrahah – sedang peluru
penegak hukum yang akan memburu para penjahat dirasakannya ibarat burung-burung
ababil yang melempar gajah Abrahah dan pasukannya menjadi tersungkur dan
hancur.
Keperkasaan Tuhan apabila hendak
ditunjukkan kepada para pembangkang akan menjadi konkret. Di sinilah seorang
yang merasa sangat kecil dan tak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan akan sadar
dan kemudian menemukan pencerahan. Proses inilah yang ingin dikemukakan Elza.
Proses dari kehidupan yang panuh ranjau dalam selimut kegulitaan menuju
atmosfer yang segar yang terang benderang.
Puisi esei yang ke-4 adalah potret belang
bontengnya keadilan di negeri ini. Elza mencoba meramu beberapa peristiwa
berbagai putusan perkara yang dialami orang-orang miskin. Dalam puisi esei yang
ini Elza memadu beberapa episode tentang pelaksanaan hukum yang janggal. Ada
hukum tapi tak ada keadilan. Berbeda dengan ke-4 esei yang lainnya puisi esei
ini tiap episode dari peristiwa yang berbeda ditulis Elza dengan agak singkat.
Pada hal seandainya Elza bersabar dalam mengembangkan daya imajinasinya, cerita
ini dengan muatan-muatan yang benar-benar menyinggung rasa kemanusiaan tidak
akan kalah daripada ke-4 puisi esei lainnya.
Pada akhirnya penulis “Manusia Gerobak”
ini bisa dikatakan sebagai seorang yang punya sensibilitas kemanusiaan yang
ingin mengekpresikan kegelisahan batinnya tak cukup dengan esei dan artikel.
Tapi esei yang dicoba dipadukan dengan puisi
Pusi-puisi jenis ini, seharusnya memang
diterima sebagai upaya untuk memperkaya berbagai pengucapan dalam perkembangan
kesusastraan Indonesia. Masalah nilai sastranya tentu tidak perlu tergesa kita
menilai sekarang dengan harga mati. Kita perlu menunggu batu uji yang disebut
perjalanan waktu dan dialog dengan masa depan. Apakah karya jenis itu punya nafas
panjang untuk menyuguhkan nilai yang benar-benar teruji? Ketika sastra dituduh
terpencil, atau dituduh megah bermukim di menara gading, Elza masih punya
kepercayaan bahwa duka kamanusiaan bisa menemukan kendaraan lewat puisi esei
seperti yang ditulisnya ini.
Saya turut menyambut kehadirannya, dengan
alasan bentuk-bentuk baru dalam kesustraan perlu dicari, diburu dan
diberdayakan. Selain itu, pintu kebebasan berekspresi tidak pernah dikunci
untuk mendukung lajunya kebudayaan. Selamanya akan terbuka karena memang harus
dibuka. Tidak boleh ditutup.
Madura 15 Desember 2012
D. Zawawi Imran
Tulisan ini adalah kata Pengantar
D.Zawawi Imran untuk buku Puisi Esai Manusia Gerobak karya Elza Peldi Taher.
Buku itu kini jadi best-seller di Gramedia, sudha dibahas di dua stasiun teve.
0 komentar: