Asih Bakar Diri, Kisah Nyata, Drama Kemanusiaan Abad Ini


/1/

Rasmin terpekur di sebelah gundukan tanah gembur
Kepalanya tertunduk lesu
Mulutnya masih mengucapkan doa
Matanya memerah
Sesekali mengusap linangan air mata
Hidup memang tak terduga
Dalam sekejap titik membalikkan keadaan
Siapa penguasa satu detik ke depan?
Dialah ”Malikiyaumiddin
Dialah Raja hari (detik) kemudian
Sepi membekap Rasmin
Diterpa semilir angin kesedihan
Langit terang seperti runtuh
Menindih kepiluan hati
Istri dan dua anaknya di liang lahat
Berdiam
Memiringkan badan
Menghadap barat
Ditutup kain kafan putih
Rasanya secepat kilat kejadian itu
Istrinya menghitam
Anaknya menghitam
Satu anaknya lagi meraung-raung kesakitan
Akhirnya menyusul ke peraduan kuburan
Rasmin menyesali paling dalam
Tak berdaya menyaksikan
Kenyataan sungguh
Bukan mimpi
Bukan sandiwara
Rasmin tak ingin beranjak dari tanah kubur itu
Sendi-sendi tubuh Rasmin lunglai
Untuk diajak berjalan
Hatinya masih pedih
Rasmin menguatkan diri
Dikerahkan seluruh tenaganya
Untuk bangkit dari kesedihan
Yang terus menggayut
Langkahnya terseok meningggalkan makam
Diiringi kenangan terpendam
Ketika masih bersama istri dan kedua anaknya


/2/

Pita kuning polisi mengitari rumah petak
Bekas-bekas terbakar masih terlihat
Di atas kasur
Di dinding
Di lantai
Rasmin tak ingin kembali ke tempat itu
Sebatang kara ia meninggalkan semuanya
Bersama duka
Rasmin tak menyangka
Waktu begitu cepat membunuh
Dalam sekejap hilang semua asa
Saat itu Rasmin berada di pelabuhan
Dipanggulnya karung-karung di atas bahu
Menjadi kuli angkut
Sejak kepindahan ke tempat gersang itu
Deras angin laut masih menyeruak
Ketika kabar itu datang tiba-tiba
”Cepat datang ke rumah sakit…”
Rasmin menduga anak keduanya yang menderita kanker otak
Darurat mesti dibawa ke rumah sakit
Semburat kekhawatiran terlintas dalam benaknya
Mata sembab tetangga menyambutnya
Rasmin makin terguncang
Berdegup kencang jantungnya
Sendi-sendi tubuhnya lunglai
Ketika menyaksikan dua tubuh diselimuti kain putih
Istri dan seorang anaknya
Luka bakar dan menghitam
Ia menangis sejadinya di tepi pembaringan
Menyesali diri sedalam-dalamnya
”Astagfirullah…astagfirullah…”
Ia menyebut terpatah-patah
Satu anaknya lagi berjuang maut
Di ujung nafas
Rasmin tak kuasa membendung derai air mata
Mengalir tak henti meski berulang diseka
Mengapa ini terjadi pada keluargaku
Mengapa istriku
Mengapa kedua anakku
Mengapa aku….
Rasmin tak mengerti


/3/

Baru subuh tadi Rasmin berpamitan
Tak ada tanda, tak ada firasat
Ia menyempatkan mencium kening anaknya yang sakit
Mengucapkan salam kepada sang istri
Sebelum pergi angkat kaki menuju pelabuhan
Semalam, seminggu, sebulan, berbulan-bulan lalu
Sang istri sering berkeluh kesah
Soal tak ada beras di rumah
Perihal tak ada biaya untuk merawat anaknya
Masalah tak punya uang
Kesulitan hidup yang mendera
Sehari, seminggu, sebulan, berbulan-bulan
Tak ada perubahan
Harga-harga kebutuhan pokok makin mencekik
Melibas mereka yang papa
Tak punya apa-apa
Apalah hasil dari kuli pelabuhan
Hanya habis untuk sehari
Esok mengadu nasib lagi
Di panas terik matahari
Dihempas angit laut
Asih menanam kecewa dengan hidupnya
Tak terbayang sedemikian merana
Berada di titik nadir kehidupan
Bergelut kesusahan
Menimbun utang
Menggali lubang tutup lubang
Seandainya tak pindah ke kota
Ke tempat yang gersang ini
Di tepi pelabuhan
Mungkin jalan hidup kan berbeda


/4/

Rasmin mengira hidup lebih baik
Ketika menikahi Asih
Hidup sederhana di desa
Seperti kebanyakkan tetangga-tetangga
Sebagai buruh tani
Yang bergantung pada tuan tanah
Yang bergantung pada musim
Tak menentu akibat perubahan iklim[1]
Produksi padi tak sebagus dulu
Lahan sawah kian menyempit
Tuan tanah semakin irit
Tak mau rugi dari produksi
Buruh tani semakin banyak
Tak sebanding dengan tanah garapan
Tak ada lagi mata pekerjaan lain
Kehidupan buruh tani makin sulit
Terbelenggu selalu kemiskinan
Keluarga kecil Rasmin- Asih bahagia
Tatkala lahir putra pertama
Disusul putra kedua
Mereka berempat
Dalam langgam hidup di desa
Hanya begitu-begitu saja
Rasmin ingin mengubah nasib
Ia mengajak istrinya pindah ke kota
Mungkin nanti hidup lebih baik
Kata orang, mencari uang di kota lebih gampang
Asih ingin menampik
Ia lebih suka di desa
Meski tak punya apa-apa
Banyak tetangga mau menolong
Guyub[1]
Rukun
Jauh dari hiruk pikuk materi
Tekad Rasmin membulat
Buruh tani tak menghasilkan apa-apa
Ia termakan rayuan teman-teman
Mengajak bekerja di pelabuhan
Asih tak kuasa menolak
Ia ajak serta dua buah hatinya
Yang beranjak balita


/5/

Di kota, rumah petak mereka tempati
Untuk sekadar berteduh
Dari panas dan hujan
Berdinding papan
Di pemukiman padat yang kumuh
Dengan tetangga senasib[1]
Keberuntungan menjauhi Rasmin
Kota jauh panggang dari api
Harapan terlihat fatamorgana
Penghasilan sehari tergerus habis
Tak ada lebih
Bahkan untuk mengobati kanker otak anak keduanya
Hanya sekali dibawa ke puskesmas
Setelah itu dirawat di rumah
Karena tak ada biaya
Putra bungsunya tergeletak lemah di pembaringan
Tak seperti anak sebayanya
Yang riang bermain bersama
Hari-hari makin mencekik
Asih menguatkan diri
Di tengah impitan kebutuhan hidup
Kadang Asih berontak
Ia minta suaminya menambah uang
Setiap kali pulang ke rumah
Tapi cuma pertengkaran yang meletup
Membuat kegalauan
Harmoni keluarga yang mulai tercabik
Hari demi hari kecewa Asih menimbun
Kepada siapa mengadu?
Tak ada yang mendengar
Mengadu kepada Tuhan?
Marah kepada Tuhan?
Tak ada jawaban
Diam membisu
Asih hanya bisa menangis dalam hati
Tanpa air mata
Dalam malam yang hening


/6/

Hati Asih kacau
Ia berpikir tentang suaminya
Yang sudah bersusah payah
Ia melihat anak bungsunya
Tergolek bersama sakitnya
Ia melihat sekelilingnya
Kosong
Hampa
Hati Asih bimbang
Ia ingin keluar dari gejolak ini
Ia ingin lepas dari deburan hati yang pedih
Diam
Berkecamuk dalam pikiran
Setan-setan menggoda
Makin kencang bisikan itu
Asih terombang-ambing
Ke kiri dan ke kanan
Ketetapan hati yang hilang
Semalaman Asih gelisah
Batinnya tertekan
Jiwanya rapuh
Suami dan kedua anaknya tertidur pulas
Dipandanginya mereka
Asih trenyuh
Mengapa hidup sesulit ini
Berhari-hari
Berbulan
Bertahun
Asih tak kuat menanggung beban hidup
Setan-setan terus menggoda
Mengakhiri hidup mungkin lebih baik
Daripada terus menderita
Diri sendiri, dua anaknya, suami
Asih berpikir bergelut berkelindan
Matanya tak mau terpejam
Masa-masa indah
Masa-masa sulit
Ingin ia akhiri
Rencana tersusun
Niat dikuatkan
Semalaman Asih tidak tidur
Hingga pagi menjelang
Sang suami telah siap pergi
Berpamit dengan anak istri
Bersamaan dengan munculnya matahari
Di ujung timur


/7/

Pagi itu Asih cuma merenung
Sendiri
Dua anaknya masih terlelap
Asih terus dihantui perang batin
Tak mudah keluar dari kemelut itu
Tekanan batinnya menghebat
Pikirannya gelap gulita
Tak ada secercah cahaya pun
Satu jalan pintas
Satu pintu untuk mengakhiri semua persoalan hidup
Menjemput maut….[1]
Asih mengambil secarik kertas
Digores pena lekas-lekas
Beriring linangan air mata
Bercucuran
Di kamar itu
Asih mengguyur dirinya dengan minyak tanah
Dua anaknya yang tertidur disiram
Merata ke seluruh tubuh
Secepat kilat Asih menyulut api
Dari sebatang korek
Ke dirinya
Dan kedua anaknya
Api menari kesana-kemari
Di tiga tubuh itu
Asih meraung kesakitan
Suaranya tertelan gemuruh api
Kedua anaknya menggelinjang di ranjang
Kegaduhan terdengar tetangga
Bersebelahan disekat papan
Orang-orang berhamburan ke rumah petak itu
Berusaha memadamkan kemarahan api
Tapi tanpa daya


/8/

Semua orang menyesal
Tetangga
Ketua RT
Ketua RW
Lurah
Tokoh agama
Andai bisa dicegah…..
Lalu dimana mereka?
Bukankah pemimpin harus memperhatikan warganya?[1]
Bukankah tugas mereka mengangkat jerat kemiskinan?
Bukankah tokoh agama seharusnya mendatangi umat?
Bukan malah mendatangi?
Mengapa derita berujung kematian tragis itu tidak terendus?
Mereka ikut bertanggungjawab
Mereka menyesal
Hanya sesaat
Lalu cepat melupakan penyesalan itu
Tapi dengan cepat melempar kesalahan pada takdir
Asih adalah takdir dari potret kehidupan urban
Yang tak lagi manusiawi
Rasmin membuka secarik kertas
Yang tertinggal
Membaca tulisan sang istri
”Aku sudah tidak kuat lagi
Menghadapi hidup ini…..
Maafkan aku……….”

Diambil dari buku Puisi Esai Manusia Gerobak karya Elza Peldi Taher. Kini bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku lainnya

0 komentar: