Filecaknur: Keislaman yang Hanif



“Adanya rasa kesucian yang serba mencakup itu pada jiwa manusia, secara alamiah atau fitriah, telah membuat manusia menjadi apa yang disebut hanīf dalam agama (Islam). [S]ecara singkat, agama adalah pernyataan keluar sifat hanīf manusia yang telah tertanam dalam alam jiwanya. Maka, beragama adalah amat natural, dan merupakan kebutuhan manusia secara esensial.” Nurcholish Madjid

Apa bila anda sempat mampir ke Gramedia, kini terpampang dengan gagah buku terbaru karya Nurcholish Madjid @fileCaknur: Keislaman Yang Hanif . Buku yang diedit oleh Budhy Munawar Rachman dan Elza Peldi Taher, dua orang Caknurian yang sangat tekun memelihara pemikiran Cak Nur, merupakan perpaduan antara twit akun twitter @filecaknur dan kutipan kutipan pemikiran Cak Nur yang tersebar di banyak buku.. Pemikiran Cak Nur memang visioner, terbukti banyak hal yang dikhawatirkan oleh Cak Nur dulu, sekarang menjadi kenyataan. Di antaranya adalah fenomena menguatnya corak keislaman yang eksklusif, bahkan “radikal”.

Sudah sejak 1992, ketika Cak Nur untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah “Islam yang hanif,” Cak Nur mengkhawatirkan bahaya keberagamaan yang cenderung fundamentalistik dan bersifat kultus pada masyarakat Muslim Indonesia. Dari analisis atas corak keberagamaan yang cenderung fundamentalistik dan kultus di dunia modern, Cak Nur menyimpulkan bahwa cara keberagamaan yang demikian sama sekali bukan masa depan. Karena keberagamaan seperti itu tidak terbuka sama sekali terhadap perkembangan-perkembangan perubahan zaman, dan cenderung bersifat tertutup, tidak kreatif, dan berorientasi ke masa lalu. Maksudnya masalah baru zaman kini, direspon dengan cara lama yang sudah tidak relevan lagi.

Perkembangan zaman dewasa ini membutuhkan corak keberagamaan yang berbeda sama sekali dengan masa lalu. Beberapa kata kunci yang ditekankan Cak Nur: keberagamaan dewasa ini perlu lebih terbuka, adil, dan demokratis. Tiga kata kunci dari Cak Nur ini, perlu disandarkan pada fondasi yang dia sebutnya sebagai “Keislaman yang hanif”. Atau istilah yang lebih teknis adalah keislaman yanghanifiyât-u ‘l-samhah yaitu “keislaman yang terbuka pada kebenaran, yang membawa pada kelapangan hidup.”

Istilah keislaman yang hanif diambil Cak Nur dari al-Qur’an dan Hadits. Sebelum Cak Nur memperkenalkan kembali istilah ini, kecenderungan keberagaman yang eksklusif telah mewarnai corak keberagamaan masyarakat Indonesia. Dewasa ini, berdasarkan survey-survey yang dilakukan lembaga survey independen, diketahui dengan jelas, kecenderungan keberagamaan masyarakat Indonesia, yang mayoritasnya adalah Muslim, bersifat intoleran dan tidak terbuka, khususnya pada masalah-masalah antaragama, Hal ini bertolak belakang dengan paham Islam mengenai hanifiyât-u ‘l-samhah yang terbuka pada kebenaran, yang membawa kelapangan hidup itu.

Apa yang dipikirkan Cak Nur pada tahun 1992 itu, sekarang jauh lebih relevan dari masa-masa sebelumnya. Corak keberagamaan masyarakat Islam Indonesia yang eksklusif, tertutup, dan intoleran perlu dikoreksi oleh pemahaman holistik dari al-Qur’an maupun Hadis. Keislaman yang hanif adalah bentuk keislaman yang akan membawa masyarakat Muslim lebih terbuka, adil, dan demokratis. Dari segi dunia modern, keislaman yang hanif adalah fondasi teologis untuk masyarakat Muslim bisa menerima sepenuhnya ide-ide kemajuan yang telah direnungkan manusia dalam sejarah pergulatan pemikiran modern, seperti demokrasi, hak asasi manusia, bahkan lingkungan hidup. Keislaman yang hanif adalah keislaman yang perenial, yang abadi, yang tidak akan berubah sepanjang masa. Karena keislaman ini adalah dasar keragamaan yang sejalan dengan hati nurani manusia yang disebut fitrah.

Menurut Cak Nur, ada dua jenis fitrah yang berhubungan: yaitu fithrah munazzalah, yaitu “fitrah yang diturunkan” berupa kitab suci yang merupakan petunjuk untuk umat manusia; dan fithrah majbûlah, yaitu fitrah yang tertanam kokoh dalam diri manusia, yaitu hati nurani. Hati nurani sendiri artinya adalah hati yang bercahaya, yang maksudnya adalah hati yang penuh dengan kebaikan yang merupakan fitrah kemanusiaa. Seseorang yang hidup sepenuhnya dengan hati nuraninya, akan memenuhi apa yang merupakan inti ajaran agama. Oleh karena keislaman yang hanif selaras dengan fitrah manusia, di mana menurut al-Qur’an, dengan fitrah inilah manusia diciptakan. Menurut Cak Nur, “Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dalam fithrah. Kemudian fithrah itu membuat manusia mempunyai kecenderungan dasar suci (hanīf), termasuk sikap dasar menerima agama yang benar, sebagai perwujudan perjanjian primordial manusia dan Tuhan (Q. 30:30 dan Q. 7:172).”

Diharapkan buku ini, bersama seri dari buku @fileCaknur yang lain akan membawa kita pada pengertian mendalam mengenai makna keislaman yang hanif. Cak Nur mengemukakan bahwa keislaman yang hanif adalah sumber rohani, dimana manusia bias terus menerus menimbah kearifan abadi. Sumber rohani ini tidak akan pernah kering selama manusia terus menghubungkan dirinya dengan Tuhan.

Kita di Indonesia sangat beruntung mendapatkan sosok cendekiawan yang mendalam seperti Cak Nur, yang memperkenalkan kepada kita pandangan-pandangan keagamaan yang kadangkala awalnya asing, tetapi kalau kita terus mengkajinya kita akan melihat bahwa pikiran-pikiran Cak Nur pada dasarnya bersifat perennial, atau abadi. Maksudnya pikiran-pikiran Cak Nur didasari oleh kearifan klasik Islam yang diberi konteks baru pergulatan Islam Indonesia dewasa ini. Hasilnya adalah keislaman yang hanif, yang cocok dengan apapun pemikiran terbaik manusia Indonesia berkaitan dengan kehidupan sosial-politik. Itu sebabnya Cak Nur dengan pemikiran keislamannya sesungguhnya bukan hanya menyumbangkan sesuatu untuk umat Islam, tetapi corak keislamannya betul-betul sejalan dengan apa pun yang terbaik dari dasar-dasar kehidupan kebangsaan. Islam yang hanif memberi ruang yang selebar-lebarnya untuk komitmen bersama, yang disebut al-Qur’an sebagai kalimat-un sawa’ (titik temu). Keislaman yang hanif mendorong umat Islam Indonesia memberi yang terbaik bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Bagi Cak Nur tidak ada pertentangan antara keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Tiga hal tersebut harus dikembangkan secara simultan, dengan rajutan yang akan menghasilkan masa depan Indonesia yang lebih baik, yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih terbuka.

Selamat membaca, semoga buku ini akan memberi banyak inspirasi kepada Anda, melebihi apa yang Anda bayangkan.

Ciputat, 29 Agustus 2013

Di hari sewindu haul Cak Nur.

Penyunting
Budhy Munawar-Rachman
Elza Peldi Taher


0 komentar: