Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa etos merantau orang minangkabausangatlah tinggi,
bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Merantaudisini dimaksudkan sebagai
orang yang pindah atau migrasi ke luar SumatraBarat. Dari hasil studi yang
pernah dilakukan oleh Mohctar Naim 1973,(Merantau, Minangkabau Voluntary
Migration, University of Singapore), padatahun 1961 ada sekitar 32 % orang
Minang berada di luar Sumatra Barat, tapipada tahun 1971, jumlah itu meningkat
menjadi 44 persen. Berarti hampir separuh orang Minang berada di luar Sumatra
Barat.
Jika
hal ini benar, maka berarti ada perubahan cukup besar pada jumlahmerantau orang
Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebabmenurut sensus tahun
1930, perantau tertinggi di Indonesia adalah orang Bawean, 35, 9 %, kemudian
Sumatra Utara 14,3 %, lalu Banjar 14,2 % dan nomorempat suku Minang 10, 5 %.
Beberapa suku yang juga punya etos merantauyang kuat adalah Bugis, Manado dan
Ambon.
Saya
yakin jika dilakukan penelitian saat ini, migrasi orang minangkabau keluar
Sumatra Barat, bisa mencapai 60 persen lebih. Mereka tersebar dariSabang,
Medan, Jawa hingga Marauke, bahkan ke luar negeri. Keluarga saya mungkin bisa
diambil sebagai sample. Dari sembilan bersaudara hanya tigayang berada di
kampung, semuanya perempuan, sedang yang lainnya mengadunasib di negeri orang.
Dari 56 cucu nenek saya atau sepupu saya, lebih dari70 %, mencari hidup, kawin,
kemudian punya anak dan cucu di rantau. Jikapada tahun 1970-an, yang merantau
kebanyakan kaum lelaki, pada tahun1980-an, apalagi tahun 1990-an , wanita
minangkabau sudah lazim merantau,tak hanya melulu karena alasan ikut suami tapi
juga karena alasan berdagang,karir dan pendidikan.
Faktor penyebab
Ada
banyak penjelasan terhadap pertanyaan ini, tapi saya ingin mencarijawabannya
dari satu sudut saja yaitu karena sistem kekerabatan yangmatrilineal di
minangkabau. Sistem ini telah mendorong terjadinya eksodus secara besar besaran
kaum lelaki minangkabau keluar dari daerahnya mencarihidup yang lebih baik
terutama ketika pertumbuhan penduduk makin bertambahsementara daya dukung
alamnya tidak bertambah. Jika dulu hasil pertanian danperkebunan, sumber utama
tempat mereka hidup bisa bisa menghidupi keluarga,makin kemudian hasil sumber
daya alam yang menjadi penghasilan utama merekaitu tak cukup lagi memberi hasil
untuk memenuhi kebutuhan bersama karenaharus dibagi beberapa keluarga. Sawah
dan perkebunan yang luas yang dulu menghidupi satu dua keluarga, kini harus
menghidupi ratusan kepala keluarga. Karena itu tak ada pilihan lain, laki laki
minang harus pergi merantaumengadu nasib di negeri orang.
Mengapa
laki laki yang eksodus dan bukan perempuan? Suku minangkabau dikenalsebagai
satu-satunya suku yang menggunakan sistem matrilinial dalammenentukan garis
keturunannya, yaitu penggunaan keturunan ibu, bukan silsilah bapak seperti terdapat
di daerah-daerah lain.Walaupun sistemmatrinilinial ini makin mengalami
modifikasi akibat perubahan zaman, tapisecara budaya ia tetap melembaga dan
hidup dalam alam pikiran sukuminangkabau.
Dalam
system ini ibu adalah tempat menarik garis keturunan keluarga. Rumahgadang
dibangun berdasarkan berapa jumlah keturunan garis perempuan. Semuakekayaan
keluarga akan jatuh kepada keturunan perempuan. Berapa besarjumlah kamar rumah
gadang dibuat tergantung kepada berapa jumlah anak gadismereka. Tak ada kamar
yang dibuat untuk laki-laki. Laki laki tidur di ruang tengah, jika sudah agak
besar mereka akan menghabiskan waktunya di surauatau lapau atau di masdjid.
Anak perempuan yang kawin akan membawa suaminyake rumah mereka dan tidur di
kamar yang sudah disediakan. Di rumahmertuanya, nasib lelaki juga sama; tak
punya kekuasaan apa apa karena semuakeputusan ada ditangan keluarga perempuan.
Bila
terjadi konflik dengan isteri atau ibu mertua, laki-laki akan pulangdengan
hanya sebungkus pakaian ke rumah orangtuanya, tidak bisa membawa anakatau
menuntut harta gono-gini meski si laki laki punya andil besar disitu.
Kesadaran
seperti inilah yang membangkitkan etos merantau di kalangan lakilaki minang.
Sebaik baiknya hidup adalah pergi merantau. Karena itu banyaklaki laki minang,
jika keluarganya tak mampu membiayai, nekad berangkatdengan modal dengkul dan
hidup berpahit pahit dirantau agar nasibnya bisaberubah.
Sukses
tidaknya laki laki minang merantau akan menaikkan atau menurunkanharga diri
laki laki itu di kampungnya. Jika sukses, biasanya diukur cukupdengan sering
tidaknya dia berkirim uang ke kampungnya. Kalau seringnamanya akan terkenal di
kampung dan para ibu akan berlomba lombamengambilnya menjadi menantu. Meski dia
tak sukses, tapi bertahan hidup dirantau harganya tetap jauh lebih tinggi
dibanding laki laki yang tidak merantau. Di minang di sebagian daerah justru
kaum perempuanlah yang melamarlaki laki, dan bukan laki laki melamar perempuan
seperti di daerah lain.
Rumah
Gadang: Museum Sejarah? Karena itu tidaklah mengherankan terjadinyaeksodus
besar besaran kaum laki laki minang dalam tiga empat dasawarsaterahir, terutama
sejak modernisasi di kota yang membuka peluang untuk bekerja terutama sebagai
pedagang. Perubahan perubahan yang terjadi akibatmodernisasi dalam tiga
dasawarsa berdampak besar pada sistem kekerabatanmatriarkat yang hidup dalam
budaya minangkabau. Sewaktu pulang kampungbeberapa waktu lalu saya cukup
terkejut melihat fenomena yang kini sedangterjadi. Fenomena itu adalah pertama,
rumah gadang sebagai simbol sistembudaya minang nampaknya akan kehilangan
fungsinya sebagai rumah gadang. Jikadulu rumah kaum itu dihuni banyak keluarga
keturunan ibu, kini rumah gadang tersebut banyak yang kosong. Bahkan banyak
rumah gadang yang harus mencaripenghuni bukan dari kaumnya, supaya ada yang
merawat sebab semua kaumnya merantau. Banyak induak induak kesepian di
rumahnya, karena semua anaknyapergi merantau.
Memang
banyak kaum yang merenovasi rumah gadangnya, dibangun yang rancak dananggun,
tapi itu dilakukan bukan untuk ditempati, melainkan hanya sebagaiornamen,
sebagai simbol keluarga. Paling sekali dalam setahun, saat lebaranmereka
berkumpul di rumah gadang tersebut. Dengan kata lain rumah gadangdikuatirkan
menjadi museum suatu keluarga. Fenomena yang kedua, memudarnyaperanan ninik
mamak sebagai kepala kaum. Terutama di daerah agraris sepertisolok-selatan,
selain kampung terasa agak lengang, jumlah perempuan jauh lebih banyak dari
laki laki.
Beberapa
keluarga suku atau kaum kesulitan untuk mencari ninik mamak ataupemimpin kaum
yang pandai karena putera putera terbaiknya lebih banyakdirantau. Padahal ninik
mamak sebagai kepala kaum lazimnya berada di kampung memimpin kaumnya. Karena
tak ada pilihan lain, diangkatlah ninikmamak yang sebenarnya kurang punya
wibawa di kaumnya. Dulu posisi itudiperebutkan dalam keluarga, karena ninik
mamak punya posisi terhormat dimasyarakatnya, tapi kini banyak yang enggan
memikulnya karena tidak lagi prestisus.
Hal
ini diperpercepat oleh terjadinya pergeseran tentang apa yang disebutKeluarga.
Orang minang bangga menyebut keluarga mereka sebagai keluargabesar. Dalam
konsep ini, jika ada seseorang anak- kemenakan, meskipun jauhhubungannya, hidup
terlantar maka keluarga besar bertanggung-jawab mendidikdan membesarkannya.
Kalau tidak nama keluarga itu akan cacad dimasyarakatnya. Karena itu jika ada
yang sukses dalam keluarga itu, makasukses itu juga akan dinikmati oleh
semuanya. Jika dia seorang paman dia
selain bertanggung-jawab kepada anak isterinya juga membantu menyekolahkankeponakannya. Tapi sekarang konsep itu telah bergeser. Makna dan fungsikeluarga besar mulai rapuh, akibat pengaruh budaya modern.
selain bertanggung-jawab kepada anak isterinya juga membantu menyekolahkankeponakannya. Tapi sekarang konsep itu telah bergeser. Makna dan fungsikeluarga besar mulai rapuh, akibat pengaruh budaya modern.
Muncullah
apa yang disebut dalam budaya modern yaitu keluarga inti. Keluargakini terdiri
dari orangtua dan anak kandungnya saja, sebagaimana lazimnyamasyarakat modern.
Kalau ada saudara diluar keluarga inti hidup susah, makaitu akan dilihat
sebagai konsekwensi hidup yang harus ditanggung sendirioleh yang bersangkutan,
meski itu adik atau kakak kandungnya. Budaya hidupbarat yang menekankan
tanggung-jawab pribadi, mulai terasa’dampaknyaterutama di rantau. Jika seorang
padusi minang tinggal dirantau bersamasuaminya yang bukan Orang minanag, tentu
ia tak dapat memberi izin padasaudaranya menumpang di rumahnya, tanpa izin
suaminya. Fenomena ini sayakira akan berdampak pada terancamnya fungsi dan
peran rumah gadang sebagaisimbol sistem kekerabatan minangkabau yang
dibanggakan itu. Dunia sedangberubah dan suku Minang harus siap menghadapi
perubahan. (***)
Elza
Peldi Taher, lahir di Muara Labuh, Solok selatan.
0 komentar: