Mewacanakan Kembali Pemikiran Pembaruan Islam Nurcholish Madjid: Menyambut Sewindu Haul Cak Nur dan Peluncuran 3 Buku Terbaru Cak Nur



Ini adalah tulisan Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan, dibuat menyambut Sewindu haul Cak Nur dan peluncuran 3 buku terbaru Cak Nur. Saya share disini atas ijin yang bersangkutan.

Pada 29 Agustus 2013,  sejumlah orang-orang terdekat Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), baik karena kedekatan berproses bersama  dalam memperjuangkan dan mewujudkan gagasan-gagasan Cak Nur maupun karena kedekatan ide dan persetujuan atas pemikirannya akan menyelenggarakan Sewindu Haul Cak Nur.  Tujuan peringatan ini sama sekali  tidak untuk mengultuskan Cak Nur sebagai pribadi,  tetapi untuk mengetengahkan kembali pemikiran-pemikirannya yang dipandang  relevan  hingga hari ini.

Pada sewindu Haul Cak Nur juga diluncurkan 3 buku terbaru Cak Nur yang diambil dari kutipan kutipan pemikiran Cak Nur dan akun twitter @filecaknur. Ketiga buku itu, Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid, Banyak Pintu Menuju Tuhan dan Keislaman Yang Hanif. Buku itu disunting oleh Budhy Munawar Rachman dan Elza Peldi Taher, dua orang yang selama ini memang dikenal orang yang tekun dan rajin merawat pemikiran Cak Nur. Ketiga buku itu konon cukup laris manis di toko buku, terutama Gramedia. Ketiga buku itu mampu menghadirkan sosok Cak Nur sebagai guru bangsa, sebagai tokoh Islam yang ramah dan toleran dan mendukung faham kemajemukan.


Integrasi Islam, Keindonesiaan dan Kemoderenan.

Kristalisasi dari pemikiran Cak Nur, hemat saya,  terdiri dari tiga kata kunci, yakni integrasi ke-islaman, keindonesian dan kemoderenan. Keislaman yang dimaksud Cak Nur adalah Islam dengan basis utama etika dan moral, karena menurut Cak Nur, dengan sering mengutip Gurnal Myrdall, bangsa Indonesia adalah bangsa yang  tergolong ‘soft state‘, yakni bangsa yang tidak jelas dan tegas membedakan tindakan yang baik dan buruk. Karena itu, bangsa ini sulit mengalami kemajuannya, karena kemajuan sebuah bangsa menurut Cak Nur harus dilandasi dengan pegangan etika yang kuat.

Mengapa Cak Nur konsentrasinya pada etika Islam? Dengan membandingkan Indonesia dan Amerika, yang terakhir ini menurut Cak Nur,  sekalipun ia berasal dari pelbagai bangsa dan agama, tetapi basis karakter dan etika sosial Amerika sebagian besar berakar dari Protestanisme dan tradisi budaya Eropa Barat. Dengan mengutip Robert N Bellah, Kristen di Amerika  merupakan civil religion yang kurang lebih sama dengan Islam di Indonesia. Karena itu,  ia berharap Indonesia pun dapat mengembangkan etika Islam dalam proses berbangsa dengan tidak melembagakannya secara formal dalam bentuk simbol-simbol atau hukum-hukum formal dan apalagi partai politik,  tetapi nilai-nilai dasar Islam dihayati sepenuhnya oleh Muslim di Indonesia dan kemudian dinyatakan sebagai nilai bermasyarakat secara umum.

Pancasila, menurut Cak Nur telah mencerminkan landasan etis Islam, karena ‘ketuhanan, ‘keadilan’, ‘musyawarah’ ‘keadaban’ dan ‘persatuan’ adalah wujud luhur dari etika Islam, tetapi sebagian umat masih terus menyoalnya, karena praktek keislaman di Indonesia lebih mengutamakan aspek  ritual dan formal ketimbang aspek etika. Ia  masih mengidap apa yang disebut Cak Nur sebagai diabolisme, yakni orang yang berhenti kepada simbol dan menyembah simbol itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran ini, Cak Nur mengajukan gagasan desakralisasi, yakni umat Islam tidak menyucikan atau memberhalakan hal-hal yang tidak suci dan meruhanikan hal-hal yang bukan ruhani.

Pancasila pun menurut Cak Nur merupakan kalimat-un sawa, yakni landasan bernegara yang memiliki titik temu atau perjumpaan  dengan agama-agama yang hidup di Indonesia. Untuk menguatkan argumentasi ini, Cak Nur mengeksplorasi historisitas sejarah Islam dengan mengumpamakan Pancasila dengan Piagam Madinah (Shahifat al-Madinah), sebuah piagam yang dilakukan Nabi Muhammad untuk menaungi masyarakat plural yang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk masing-masing golongan yang hidup di Madinah pada masa itu.

Sebagai konsekwensi dari penerimaan umat Islam terhadap Pancasila ini, maka umat Islam pun harus toleran terhadap agama-agama lain, terutama agama yang hidup di Indonesia. Sikap toleransi ini disebut Cak Nur sebagai  Al-hanifiyat al-samhah, yakni sikap beragama yang bersemangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa. Sikap beragama yang lapang, menurut Cak Nur,  memiliki dimensi historis dan teologisnya bagi agama-agama yang berakar dari  tradisi Nabi Ibrahim dimana ia tidak terikat pada agama-agama formal, tetapi agama yang memiliki semangat pencarian kebenaran dan tunduk pada kebenaran itu sendiri.

Selain integrasi Islam dalam keindonesiaan, Cak Nur pun mengembangkan ide modernisasi dalam pengertian perlunya pembaruan pemikiran atas Islam. Gagasan ini mulai ia kembangkan ketika ia berceramah pada 2 Januari 1970 di hadapan organisasi-organisasi mahasiswa yang berjudul ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat‘. Dalam ceramah tersebut,  Cak Nur menekankan perlunya peningkatan kualitas umat dibanding kuantitas. Dengan mengutip Andre Beufre, seorang ahli strategi militer dari Perancis , ‘garis pemikiran kita yang tradisional harus dibuang jauh-jauh, sebab sekarang ini jauh lebih penting mempunyai kemampuan melihat ke depan daripada mempunyai ukuran besar yang daya gunanya masih harus dipersoalkan’. Ungkapan tersebut semakna dengan pernyataan bahwa kelompok yang kecil, tetapi kuat dapat mengalahkan kelompok besar tapi rapuh. Disadari oleh Cak Nur bahwa ide pembaruan ini tidaklah mudah karena ia mensyaratkan perubahan pola pikir mapan yang dianggap benar pada dirinya sendiri.


Santrinisasi Kelas Menengah

Dengan pengetahuan Islam yang kokoh dan visinya tentang kemoderenan, ia memperoleh simpati luas publik Muslim kelas menengah dan atas di Indonesia. Gagasan-gagasan Cak Nur ini seperti menjawab ‘kedahagaan’ kelas menengah dan atas Muslim  atas ajaran Islam yang dijawabnya melalui lembaga yang didirikannya, yakni  ‘Yayasan Wakaf Paramadina’. Melalui lembaga ini Cak Nur menyemai dan meluaskan gagasannya yang kelak memiliki jejak kuat dalam melahirkan sejumlah intelektual Muslim dari pelbagai perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi Islam dan juga jejak kelas menengah dan atas santri. Melalui lembaga ini, ide-ide pembaruan Islam ditebarkan dan pengajian-pengajian dalam bentuknya yang canggih digelar.  Mungkin Paramadina-lah yang mempelopori pengajian dalam bentuk moderen dengan audien kelas menengah dan atas. Dengan kepeloporan ini, Paramadina membongkar streotipe bahwa yang aktif dalam pengajian bukan hanya mereka yang berafiliasi kepada organisasi-organisasi Islam saja atau kelompok santri yang tinggal di pedesaan, tetapi juga dilakukan oleh kalangan eksekutif dan kaum profesional kelas menengah dan elit kota. Terdapat kecenderungan ’santrinisasi’ yang dilakukan Cak Nur terhadap mereka yang sebelumnya kurang percaya diri mengekspresikan kesantriannya karena situasi politik dan sosial di masa awal dan pertengahan Orde Baru . Paramadina hadir mengisi kekosongan tersebut.

Saat ini, meski raga Cak Nur  telah tiada, tetapi kekuatan pikiran dan gagasan-gagasannya masih tetap hidup. Kekuatan pikiran yang  relevan adalah tentang Pancasila sebagai common plattform bagi bangsa Indonesia di tengah-tengah masih ada sebagian warga negara yang berjuang untuk menggantinya. Selain itu, basis etika yang harus menjadi landasan  hidup bernegara  di tengah-tengah permissive-nya para penyelenggara negara yang tidak dapat membedakan mana hal baik dan buruk. Disamping  tentang bagaimana semestinya beragama yang lapang dan penuh toleransi  di tengah-tengah kelompok minoritas agama yang teraniaya,  seperti Syiah di Sampang, Ahmadiyah di pelbagai daerah, GKI Yasmin dan Fhiladelpia di Jawa Barat dan lainnya.

Semoga pelajaran-pelajaran besar yang disampaikan Cak Nur menjadi jejak dan kontribusi abadi yang ditorehkan selama hidupnya  dan tetap dilanjutkan oleh generasi penerus yang mewarisi pemikirannya. Semoga kehadiran tiga buku terbaru Cak Nur dapat menghadirkan kembali sosok Cak Nur yang selalu mengkampanyekan Islam yang ramah, toleran, yang sejalan dengan cita-cita kemanusiaan global, dan memahami Indonesia sebagai nation-state yang plural dan dinamis. Wallahu A’lam.

Penulis, Neng Dara Affiah,  adalah Komisioner Komnas Perempuan 2010-2014. Aktif dalam Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) dan Pimpinan Perguruan Islam “Annizhomiyyah”, Labuan, Banten.

0 komentar: